Apa yang sebenarnya disampaikan oleh platform-platform media sosial kepada kita? Platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan lainnya, bahkan platform pencari kerja seperti LinkedIn, misalnya, telah mengungkapkan banyak hal tentang prestasi, jabatan, latar belakang pendidikan, dan jumlah koneksi yang dimiliki seseorang.
Foto-foto dari tempat-tempat keren yang seseorang kunjungi sering kali menjadi sorotan---terkadang individu tersebut terlihat berada di latar depan secara tidak proporsional. Ini mungkin mencerminkan tingkat narsisme seseorang, namun lebih dari itu, hal-hal tersebut hanya memberikan sedikit gambaran tentang siapa sebenarnya orang yang kita hadapi.
Kita, sebagai masyarakat, terobsesi dengan status, prestasi, dan pekerjaan---bukan dengan siapa mereka sebagai manusia atau karakter mereka. Hal ini mencerminkan nilai-nilai yang kita anut.
Keterikatan kita pada pencapaian menimbulkan pertanyaan penting: Apakah kita sudah berhenti mengenali nilai bawaan seseorang dan hanya memandang diri kita sebagai produk dari pencapaian?
Jika ya, bagaimana dampaknya terhadap perilaku dan kehidupan kita?
Sebagai manusia, nilai kita bukan hanya tentang apa yang kita capai, tetapi sifat kemanusiaan bawaan kita yang menjadikan kita berharga.
Sayangnya, masyarakat sering kali melakukan dehumanisasi terhadap mereka yang tidak memenuhi standar pencapaian, melabeli mereka sebagai "pecundang" atau "kaum gagal."
Nilai kemanusiaan seseorang seolah-olah tidak lagi didasarkan pada kemanusiaan itu sendiri, melainkan pada seberapa baik seseorang memenuhi ekspektasi masyarakat.
Menjadi manusia saja tampaknya tidak lagi cukup. Kita harus mencapai sesuatu, menyesuaikan diri, dan menunjukkan kepada orang lain bahwa kita telah melakukannya.
Pada akhirnya, kita mulai memandang satu sama lain bukan sebagai manusia, melainkan sebagai "produk dari perbuatan manusia." Nilai kita tidak lagi bersandar pada keberadaan kita sebagai manusia, tetapi pada apa yang kita capai atau seberapa baik kita menyesuaikan diri dengan ekspektasi lingkungan.
Masyarakat saat ini sangat berorientasi pada pencapaian, terutama dalam hal materi. Kita cenderung mengagumi orang-orang yang sukses secara finansial, memiliki jabatan tinggi, dan menonjol dalam dunia kerja---seperti yang sering kita lihat di profil job kerja mereka, misalnya.
Ketika bertemu seseorang, pertanyaan yang paling sering muncul adalah, "Apa yang sedang kamu kerjakan?" Pertanyaan ini hampir selalu merujuk pada pekerjaan atau karier, bukan pada minat, perkembangan spiritual, atau bagaimana mereka memperlakukan orang lain.
Menariknya, karena pertanyaan ini sering diajukan, kebanyakan orang telah menyiapkan "elevator pitch" (pernyataan singkat yang menjelaskan ide, produk, atau diri sendiri dalam waktu 30-60 detik, biasanya digunakan untuk menarik perhatian orang lain dengan cepat dan efektif, yang bertujuan untuk memicu minat dan membuka peluang diskusi lebih lanjut), seolah-olah mereka sedang mempromosikan ringkasan produk diri mereka sendiri.
Si penanya kemudian harus menilai posisi seseorang berdasarkan apa yang dianggap berharga atau paling tidak, menarik. Misalnya, jika seseorang bekerja sebagai petugas kebersihan, mereka mungkin dipandang kurang berharga dibandingkan seorang manajer produk. Hal ini mencerminkan bagaimana kita terus-menerus menilai orang lain berdasarkan pencapaian dan prestasi.
Di dunia yang sangat mendasarkan nilai seseorang pada prestasi, banyak orang mulai mengaitkan harga dirinya dengan apa yang mereka capai. Psikolog Amerika Leon Festinger mengusulkan "teori perbandingan sosial," yang menjelaskan bahwa individu membandingkan dirinya dengan orang lain sebagai cara untuk mengukur dan menilai diri mereka sendiri.
Hal ini sering terlihat di media sosial, di mana orang membandingkan kecantikan, kekayaan, atau prestasi mereka dengan orang lain, yang sering kali berdampak negatif pada harga diri.
Perlombaan untuk mencapai lebih banyak dan menunjukkan kesuksesan secara terus-menerus telah menjadi budaya kita, sering disebut sebagai "perlombaan tikus." Kita terjebak dalam siklus pencapaian yang tidak ada habisnya, dengan impian bahwa kita bisa meraih segalanya jika bekerja cukup keras.
Namun, sebagai sebuah budaya, kita tampaknya tidak memahami ironi dari kegilaan ini: kita rela menghabiskan uang dan waktu untuk mengikuti kursus atau membeli produk yang menjanjikan kesuksesan tanpa henti, meskipun sering kali berakhir pada kelelahan atau burnout.
Oleh karena itu, banyak pria dan wanita muda mati-matian mencari pakar internet yang menghasilkan banyak uang hanya dengan mendikte mereka untuk bekerja keras dan terus-menerus "menghancurkannya". Tapi untuk apa? Hanya karena masyarakat kemudian menganggap kita berharga, dan nilai kita di mata orang lain meningkat seiring dengan meningkatnya prestasi kita?
Dalam bukunya The Burnout Society, filsuf Jerman kelahiran Korea Selatan, Byung-Chul Han, menjelaskan bagaimana masyarakat telah bertransisi dari masyarakat disiplin menjadi masyarakat prestasi. Han menyatakan bahwa masyarakat abad ke-21 bukan lagi masyarakat disiplin, melainkan masyarakat prestasi. Penduduknya bukan lagi 'subjek kepatuhan', melainkan 'subjek prestasi'. Mereka adalah wirausaha bagi diri mereka sendiri. (Han, Byung-Chul. The Burnout Society (p. 8). Stanford University Press. Kindle Edition.)
Menurut Han, masyarakat disiplin memberitahu orang-orang apa yang tidak boleh mereka lakukan, sedangkan masyarakat prestasi menekankan pada apa yang bisa mereka capai. Masyarakat disiplin berorientasi negatif, sedangkan masyarakat prestasi berorientasi positif. Prinsip utama dari masyarakat prestasi adalah afirmasi "Ya, kita bisa!" yang menciptakan ilusi bahwa kita dapat mencapai apa pun jika berusaha cukup keras.
Mimpi tentang "kemampuan tak terbatas" sering kali disampaikan dengan pesan bahwa kita bisa menjadi apa pun yang kita inginkan, asalkan kita bekerja keras. Pada masyarakat yang disiplin, etos kerja dibangun melalui pemaksaan dan hukuman. Sebaliknya, dalam masyarakat prestasi, mimpi dan impianlah yang dijual kepada kita.
Yang mengejutkan, kita tidak hanya bekerja lebih keras, tetapi juga secara intrinsik termotivasi untuk terus berusaha mencapai hasil terbaik.
Pada akhirnya, kita menjadi budak yang tidak lagi memerlukan tuan, karena kita dengan sukarela mencambuk diri sendiri. Paling tidak, kita memberikan cambuk itu kepada para motivator untuk terus mendorong dan menggiling diri kita hingga kelelahan.
Byung-Chul Han juga berpendapat bahwa dampak buruk dari masyarakat prestasi ini dapat merusak harga diri. Dalam masyarakat yang terus-menerus menekankan pentingnya kebahagiaan dan kesuksesan, mereka yang gagal memenuhi standar produktivitas atau kesuksesan akan merasa tidak berharga. Pertanyaannya, bagaimana nasib orang-orang yang tidak bisa memenuhi tuntutan ini?
Han dalam bukunya menyebut bahwa masyarakat disiplin menghasilkan individu yang gila atau kriminal, sementara masyarakat prestasi melahirkan orang-orang yang depresi dan merasa gagal. Ketika keberhasilan menjadi standar utama, mereka yang gagal dipandang sebagai pecundang---terpinggirkan dan tidak layak dihargai.
Masyarakat prestasi pada akhirnya sama dengan masyarakat yang menistakan kegagalan. Mereka yang tidak mampu bersaing, yang kalah, dianggap sebagai "yang berdosa." Dalam masyarakat modern, kegagalan tidak hanya membuat kita merasa buruk terhadap diri sendiri, tetapi juga menjadikan kita "tidak tersentuh."Â
Mimpi besar tentang kesuksesan sering kali berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui, karena keinginan untuk mengungguli orang lain dan memaksimalkan diri menjadi obsesi. Narsisme adalah salah satu penyakit sosial yang lahir dari tekanan ini. Kata "narsisme" semakin sering digunakan untuk menggambarkan gejala zaman modern, di mana kita terobsesi pada citra diri dan bagaimana orang lain memandang kita.
Dalam lingkungan yang mendorong kita untuk menjadi "merek pribadi," narsisme tidak dapat dihindari. Ada perbedaan antara kecenderungan narsistik dan gangguan kepribadian narsistik (NPD).
Di sini, kita berbicara tentang kecenderungan narsistik---rasa mementingkan diri sendiri yang berlebihan dan kebutuhan akan kekaguman. Dalam masyarakat prestasi, sifat narsistik sering dianggap positif, karena orang narsistik bergantung pada pengakuan eksternal untuk menilai dirinya.
Untuk mempertahankan harga diri, seseorang harus sepenuhnya terlibat dalam masyarakat prestasi, berlomba menjadi yang terbaik dalam segala hal. Mereka yang narsis akan mengeksploitasi orang lain tanpa rasa penyesalan, karena bagi mereka, hasil akhir adalah segalanya. Mereka hidup dalam gelembung, menjadi pusat dari dunia kecil mereka, sementara orang lain hanyalah pengagum atau alat untuk dimanfaatkan.
Ironisnya, perilaku semacam ini sering kali tidak dihukum oleh masyarakat. Justru, kita cenderung mengagumi orang yang sombong, pamer, dan bahkan tidak bermoral, seperti selebriti media sosial yang mengumpulkan "suka" dan "komentar baik". Narsisme, dalam konteks ini, menjadi menguntungkan.
Menurut Han selanjutnya, narsisme bukanlah hasil dari masyarakat prestasi. Sebaliknya, masyarakat prestasi menciptakan narsisme, karena sifat-sifat narsistik justru dihargai dalam dunia yang mengukur nilai individu berdasarkan pencapaian. Ketika harga diri didasarkan pada prestasi, kita merasa berharga hanya ketika berhasil. Jika gagal, kita merasa tidak layak. Kita belajar mencintai diri sendiri berdasarkan apa yang kita capai, karena dunia juga menilai kita dari hal yang sama.
Prestasi, tentu saja, bukan hal yang buruk. Manusia telah mencapai banyak hal hebat sepanjang sejarah. Namun, kesuksesan yang terus-menerus hanyalah satu sisi dari kehidupan. Tidak mungkin kita selalu sukses. Jika kita terus mencoba memenuhi standar yang terlalu tinggi, pada akhirnya kita akan membayar harga yang mahal. Hidup tidak hanya terdiri dari keberhasilan; ada juga kegagalan dan kekosongan.
Lebih buruknya lagi, banyak pencapaian tidak sepenuhnya berada di bawah kendali kita. Jika harga diri kita bergantung pada faktor eksternal seperti itu, kita menempatkan diri dalam posisi yang rapuh. Selama kita memenuhi harapan masyarakat dan diakui orang lain, kita merasa nyaman. Namun, saat kita gagal, orang lain akan memandang kita sebagai pecundang, dan harga diri kita hancur.
Lalu, apa sebenarnya yang bernilai? Bukankah nilai seseorang bersifat subjektif? Kita yang memberi makna pada hal-hal di sekitar kita. Namun, menghadapi tuntutan masyarakat dan mengabaikan konsekuensinya bukanlah perkara mudah.
Bukankah lebih baik membangun harga diri dari sesuatu yang lebih stabil dan berada dalam kendali kita? Mungkin dari kenyataan bahwa kita berharga sebagai manusia, bukan hanya dari apa yang kita lakukan? Mengapa tidak mendasarkan harga diri pada hal-hal yang kita anggap penting, bukan apa yang dianggap penting oleh orang lain?
Membangun harga diri dari sumber yang lebih dalam memerlukan keberanian dan kekuatan untuk menentang opini umum. Bagi banyak orang, hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, namun sangat mungkin dilakukan.
---Â Â
Shyants Eleftheria, Osce te IpsumÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H