Mimpi tentang "kemampuan tak terbatas" sering kali disampaikan dengan pesan bahwa kita bisa menjadi apa pun yang kita inginkan, asalkan kita bekerja keras. Pada masyarakat yang disiplin, etos kerja dibangun melalui pemaksaan dan hukuman. Sebaliknya, dalam masyarakat prestasi, mimpi dan impianlah yang dijual kepada kita.
Yang mengejutkan, kita tidak hanya bekerja lebih keras, tetapi juga secara intrinsik termotivasi untuk terus berusaha mencapai hasil terbaik.
Pada akhirnya, kita menjadi budak yang tidak lagi memerlukan tuan, karena kita dengan sukarela mencambuk diri sendiri. Paling tidak, kita memberikan cambuk itu kepada para motivator untuk terus mendorong dan menggiling diri kita hingga kelelahan.
Byung-Chul Han juga berpendapat bahwa dampak buruk dari masyarakat prestasi ini dapat merusak harga diri. Dalam masyarakat yang terus-menerus menekankan pentingnya kebahagiaan dan kesuksesan, mereka yang gagal memenuhi standar produktivitas atau kesuksesan akan merasa tidak berharga. Pertanyaannya, bagaimana nasib orang-orang yang tidak bisa memenuhi tuntutan ini?
Han dalam bukunya menyebut bahwa masyarakat disiplin menghasilkan individu yang gila atau kriminal, sementara masyarakat prestasi melahirkan orang-orang yang depresi dan merasa gagal. Ketika keberhasilan menjadi standar utama, mereka yang gagal dipandang sebagai pecundang---terpinggirkan dan tidak layak dihargai.
Masyarakat prestasi pada akhirnya sama dengan masyarakat yang menistakan kegagalan. Mereka yang tidak mampu bersaing, yang kalah, dianggap sebagai "yang berdosa." Dalam masyarakat modern, kegagalan tidak hanya membuat kita merasa buruk terhadap diri sendiri, tetapi juga menjadikan kita "tidak tersentuh."Â
Mimpi besar tentang kesuksesan sering kali berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui, karena keinginan untuk mengungguli orang lain dan memaksimalkan diri menjadi obsesi. Narsisme adalah salah satu penyakit sosial yang lahir dari tekanan ini. Kata "narsisme" semakin sering digunakan untuk menggambarkan gejala zaman modern, di mana kita terobsesi pada citra diri dan bagaimana orang lain memandang kita.
Dalam lingkungan yang mendorong kita untuk menjadi "merek pribadi," narsisme tidak dapat dihindari. Ada perbedaan antara kecenderungan narsistik dan gangguan kepribadian narsistik (NPD).
Di sini, kita berbicara tentang kecenderungan narsistik---rasa mementingkan diri sendiri yang berlebihan dan kebutuhan akan kekaguman. Dalam masyarakat prestasi, sifat narsistik sering dianggap positif, karena orang narsistik bergantung pada pengakuan eksternal untuk menilai dirinya.
Untuk mempertahankan harga diri, seseorang harus sepenuhnya terlibat dalam masyarakat prestasi, berlomba menjadi yang terbaik dalam segala hal. Mereka yang narsis akan mengeksploitasi orang lain tanpa rasa penyesalan, karena bagi mereka, hasil akhir adalah segalanya. Mereka hidup dalam gelembung, menjadi pusat dari dunia kecil mereka, sementara orang lain hanyalah pengagum atau alat untuk dimanfaatkan.
Ironisnya, perilaku semacam ini sering kali tidak dihukum oleh masyarakat. Justru, kita cenderung mengagumi orang yang sombong, pamer, dan bahkan tidak bermoral, seperti selebriti media sosial yang mengumpulkan "suka" dan "komentar baik". Narsisme, dalam konteks ini, menjadi menguntungkan.