Masyarakat saat ini sangat berorientasi pada pencapaian, terutama dalam hal materi. Kita cenderung mengagumi orang-orang yang sukses secara finansial, memiliki jabatan tinggi, dan menonjol dalam dunia kerja---seperti yang sering kita lihat di profil job kerja mereka, misalnya.
Ketika bertemu seseorang, pertanyaan yang paling sering muncul adalah, "Apa yang sedang kamu kerjakan?" Pertanyaan ini hampir selalu merujuk pada pekerjaan atau karier, bukan pada minat, perkembangan spiritual, atau bagaimana mereka memperlakukan orang lain.
Menariknya, karena pertanyaan ini sering diajukan, kebanyakan orang telah menyiapkan "elevator pitch" (pernyataan singkat yang menjelaskan ide, produk, atau diri sendiri dalam waktu 30-60 detik, biasanya digunakan untuk menarik perhatian orang lain dengan cepat dan efektif, yang bertujuan untuk memicu minat dan membuka peluang diskusi lebih lanjut), seolah-olah mereka sedang mempromosikan ringkasan produk diri mereka sendiri.
Si penanya kemudian harus menilai posisi seseorang berdasarkan apa yang dianggap berharga atau paling tidak, menarik. Misalnya, jika seseorang bekerja sebagai petugas kebersihan, mereka mungkin dipandang kurang berharga dibandingkan seorang manajer produk. Hal ini mencerminkan bagaimana kita terus-menerus menilai orang lain berdasarkan pencapaian dan prestasi.
Di dunia yang sangat mendasarkan nilai seseorang pada prestasi, banyak orang mulai mengaitkan harga dirinya dengan apa yang mereka capai. Psikolog Amerika Leon Festinger mengusulkan "teori perbandingan sosial," yang menjelaskan bahwa individu membandingkan dirinya dengan orang lain sebagai cara untuk mengukur dan menilai diri mereka sendiri.
Hal ini sering terlihat di media sosial, di mana orang membandingkan kecantikan, kekayaan, atau prestasi mereka dengan orang lain, yang sering kali berdampak negatif pada harga diri.
Perlombaan untuk mencapai lebih banyak dan menunjukkan kesuksesan secara terus-menerus telah menjadi budaya kita, sering disebut sebagai "perlombaan tikus." Kita terjebak dalam siklus pencapaian yang tidak ada habisnya, dengan impian bahwa kita bisa meraih segalanya jika bekerja cukup keras.
Namun, sebagai sebuah budaya, kita tampaknya tidak memahami ironi dari kegilaan ini: kita rela menghabiskan uang dan waktu untuk mengikuti kursus atau membeli produk yang menjanjikan kesuksesan tanpa henti, meskipun sering kali berakhir pada kelelahan atau burnout.
Oleh karena itu, banyak pria dan wanita muda mati-matian mencari pakar internet yang menghasilkan banyak uang hanya dengan mendikte mereka untuk bekerja keras dan terus-menerus "menghancurkannya". Tapi untuk apa? Hanya karena masyarakat kemudian menganggap kita berharga, dan nilai kita di mata orang lain meningkat seiring dengan meningkatnya prestasi kita?
Dalam bukunya The Burnout Society, filsuf Jerman kelahiran Korea Selatan, Byung-Chul Han, menjelaskan bagaimana masyarakat telah bertransisi dari masyarakat disiplin menjadi masyarakat prestasi. Han menyatakan bahwa masyarakat abad ke-21 bukan lagi masyarakat disiplin, melainkan masyarakat prestasi. Penduduknya bukan lagi 'subjek kepatuhan', melainkan 'subjek prestasi'. Mereka adalah wirausaha bagi diri mereka sendiri. (Han, Byung-Chul. The Burnout Society (p. 8). Stanford University Press. Kindle Edition.)
Menurut Han, masyarakat disiplin memberitahu orang-orang apa yang tidak boleh mereka lakukan, sedangkan masyarakat prestasi menekankan pada apa yang bisa mereka capai. Masyarakat disiplin berorientasi negatif, sedangkan masyarakat prestasi berorientasi positif. Prinsip utama dari masyarakat prestasi adalah afirmasi "Ya, kita bisa!" yang menciptakan ilusi bahwa kita dapat mencapai apa pun jika berusaha cukup keras.