Perpustakaan di kota itu tak ubahnya seperti makam tua---dilupakan. Bangunannya kusam. Pintu masuknya nyaris tidak pernah bergerak. Di dalamnya hanya ada Pak Darmaji yang selalu duduk di belakang meja kayu lapuk, persis patung yang tidak tahu kapan harus menyerah. Buku-buku di rak berderet-deret, berdebu-debu, menunggu disentuh, dibaca, dan berharap dimengerti. Namun, siapa peduli?
Sementara, di seberang jalan, pusat perbelanjaan mewah berdiri angkuh dengan memasang iklan-iklan rayuan maut untuk menjerat manusia-manusia hedonis. Manusia-manusia itu bak kawanan yang lupa diri, terhipnotis oleh kilauan barang-barang mentereng dan aroma makanan dengan harga yang tidak lagi masuk akal, demi satu tujuan: difoto, lalu diunggah ke media sosial.
Ironisnya, di sudut lain kota, masyarakat kelas bawah masih teramat sibuk mencari cara bertahan hidup. Mereka pontang-panting mengatasi lapar dan tidak terlalu pusing memikirkan isi kepala. Andaikan di saat bersamaan, ada yang menawarkan makanan dan buku, tentu makanan menjadi pemenangnya. Bagi mereka, urusan otak tumpul tidak lebih penting daripada urusan perut yang berisik.
Mengapa orang-orang lebih memilih menjadi bodoh? Pak Darmaji kembali mempertanyakan hal itu sambil mengamati halaman depan perpustakaan yang kerap kosong, kecuali beberapa burung pipit yang bertengger di atas pagar berkarat.
Pertanyaan itu belum terjawab, hingga suatu siang, dua pelajar---putera dan puteri---datang tergopoh-gopoh masuk ke perpustakaan. Kedua pelajar itu mengenakan seragam putih abu-abu dan tampak antusias.
Pak Darmaji bernapas lega. "Akhirnya, ada pengunjung juga hari ini."
"Pak, kami ingin mencari buku bahasa untuk tugas sekolah," kata si pelajar perempuan. Suaranya begitu ceria, sementara teman laki-lakinya hanya berdiri di samping dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana.
Pak Darmaji tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena ternyata masih ada anak muda yang peduli dengan buku.
"Carilah di rak nomor tiga, Nak!"
Usai menunjukkan arah rak khusus buku-buku tentang bahasa, Pak Darmaji kembali duduk di kursinya. Tidak lama, entah mengapa, tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang ganjil. Dia kemudian langsung memperhatikan gelagat kedua pelajar itu dari jauh.