"Kau bercanda? Aku pikir kita sudah membahas ini sebelumnya. Tidak ada yang bisa menghubungkan aku dengan kasus-kasus itu."
Sigit menggeleng. "Ini serius, Din. Sudah ada yang menyelidiki. Mereka hampir sampai ke inti masalah. Aku datang ke sini untuk memberimu kesempatan terakhir. Bereskan semuanya sebelum terlambat."
"Kau pikir aku akan lari? Bersembunyi? Mengakui apa yang sudah aku lakukan? Tidak, Sigit. Aku sudah bekerja keras untuk ini. Aku tidak akan membiarkan siapa pun merampasnya dariku."
Saipudin menyeringai. Sigit terdiam menatap temannya dengan campuran antara kekecewaan dan rasa kasihan.
"Din, ini bukan soal kerja keras. Ini soal keadilan. Kau tidak bisa terus seperti ini. Kau tidak bisa terus pura-pura bahwa semua baik-baik saja."
Saipudin berdiri dari kursinya. Ia menatap dingin Sigit.
"Aku tidak pura-pura. Aku tahu apa yang kulakukan. Aku tahu apa yang kubutuhkan. Aku juga tahu bahwa kerja keras itu tidak gratis. Aku sudah membayar mahal untuk mencapai posisiku sekarang. Kau pikir aku akan menyerah begitu saja hanya karena beberapa dokumen? Tidak, aku akan terus maju."
"Saipudin, kau sudah terlalu dalam menyelam. Aku tidak bisa membantumu lagi. Aku hanya bisa berharap kau sadar sebelum terlambat."
"Jangan khawatirkan aku, Sigit. Aku tahu apa yang kulakukan." Saipudin tersenyum lebar. Ia merasa lebih yakin dari sebelumnya.
Setelah Sigit pergi, Saipudin duduk kembali ke kursinya. Ia membuka map itu dan melihat dokumen-dokumen di dalamnya. Bukti-bukti itu jelas menunjukkan keterlibatannya dalam skema korupsi yang rumit. Namun, alih-alih merasa takut atau cemas, Saipudin merasa bangga. Ia berhasil melakukan semua ini dengan sangat rapi. Tidak ada yang curiga.
Saipudin tahu akan ada orang-orang yang mencoba menjatuhkannya, tetapi ia percaya selalu bisa lolos. Kekuasaan dan pengaruh yang ia miliki cukup untuk menutupi semua jejak yang mungkin tertinggal. Ini bukan akhir, tetapi awal dari sebuah perjuangan yang lebih besar lagi.