Tidak lama, jembatan terlihat di atas sungai. Begitu mendekat, telinganya tidak dapat mendengar aliran air di bawah jembatan yang tidak terlalu panjang. Ia melongo lebih cermat, ternyata itu jurang yang dalam.
Kepalanya pusing, mungkin karena bermasalah dengan ketinggian. Bagaimanapun, ia harus menyeberang dan berusaha menjaga keseimbangan dalam keadaan permukaan mulai basah.
Perlahan-lahan ia meniti jembatan sampai ke ujung sambil mengutuk siapa yang telah membangun jembatan tidak sempurna itu---jangan-jangan ada manipulasi dana. Jembatan itu terlihat tidak aman. Tidak ada pegangan tangan atau bahkan tepian, kecuali dua tiang kecil di setiap sisi. Kondisi itu jelas berbahaya sekali bagi pelintas.
Udara dingin menekan tulangnya selama perjalanan. Sementara, rasa pusing tidak membantunya berpikir jernih ketika mempertanyakan lagi mengapa ia sampai terjebak di wilayah asing. Sedikit lega, pusingnya memudar setelah ia terus berjalan dan melihat sebuah rumah di kejauhan.
Hawa dingin menggigit wajahnya saat angin bertiup di sekeliling. Kakinya bergegas maju sampai di halaman depan rumah. Bekas roda tercetak jelas di tanah yang sebagian tertutup genangan air, tetapi tidak terlihat olehnya mobil di sekitar.
Perasaan was-was mulai menyergapnya karena khawatir tidak ada orang di rumah itu yang akan membukakan pintu dan membiarkannya masuk. Namun, rumah itu tampak seperti pondok harapan setelah keletihan yang dilaluinya. Ia pun berjalan mendekat untuk mengetuk.
Tiga kali ketukan, tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, tidak ada jawaban lagi.
Refleks tangannya memutar pegangan pintu. Keheranannya muncul karena pintu ternyata tidak terkunci.
Ia melangkah ke dalam dan menutup pintu sambil membayangkan jika ada seseorang di rumah, ia akan menjelaskan situasinya dengan tenang, berharap itu bisa menolong.
"Permisi! Maaf, mobil saya mogok di jalan. Ada orangkah di sini?"
Lagi-lagi tidak ada jawaban atau tanda-tanda seseorang di rumah.