---Â
Napas Mar berembus berat serasa menyuarakan perasaan teraduk-aduk setelah kabar buruk mengoyak ketenangan kami menjelang subuh tadi.
"Kita pergi sekarang, Bu?" tanyaku kepadanya dan dibalas dengan sekali anggukan kecil.
Usai merapikan seprai kusut di tempat tidur bekas duduknya, Mar mengambil tas, lalu memeriksa keadaan rumah untuk memastikan semuanya aman saat kami tinggalkan. Aku sudah melakukannya beberapa waktu sebelumnya, tetapi memang begitulah Mar, selalu kurang percaya kepadaku.
Kami pergi dengan Chevrolet Blazer, mobil yang kubeli di awal pernikahan ketika kami tinggal di kawasan minim transportasi. Mobil ini merupakan wujud perjuangan panjang karena menguras tabunganku dan tiga tahun pemotongan sebagian gaji dari pinjaman kantor.
Bagusnya, dua dekade pemakaian, mesin mobil masih prima. Mungkin karena aku telaten merawatnya. Keinginan menggantinya tidak pernah terlintas. Bagiku, memiliki mobil bukanlah untuk gaya hidup, melainkan pemenuhan kebutuhan saja. Mar sependapat. Kadang-kadang, pikiran kami bisa selaras dalam beberapa hal tertentu.
Sepanjang perjalanan menuju kota provinsi, kami belum berbincang. Kebisuan ini bukan hanya tentang perjalanan, tetapi tentang segala sesuatu yang terjadi.Â
Satu-satunya suara sibuk yang mengisi kekosongan adalah suara penyiar radio di saluran 99,3 FM, yang kemudian memutarkan lagu "Seperti yang Kau Minta" dari sang Legendaris Chrisye. Lagu ini membawaku bernostalgia.
"Sudah lama kita tidak seperti ini, ya, Bu," ujarku memecah diam, tetapi Mar hanya menatap lurus ke depan, tanpa menanggapiku sepatah kata.
Kami memang kian jarang berdua. Kendati Mirel telah melanjutkan pendidikannya di pusat kota, yang seharusnya memberikan lebih banyak ruang aku dan Mar, tetapi kenyataannya, kami terperangkap dalam kesibukan masing-masing.