"Sudah, tidak usah! Aku masih bisa kerja, masih punya tenaga. Sana! Pergi saja kalau kau mau pergi. Bersenang-senanglah. Jangan pikirkan aku lagi. Kau memang tidak benar-benar berniat mengurusku. Mungkin aku cuma jadi beban saja. Sana pergi!"
Aku terdiam sejenak, terkejut, dan terluka oleh kata-kata Ibu. Perasaanku kecewa. Aku marah.
"Kenapa Ibu tidak pernah memikirkan aku? Aku sudah dewasa, tetapi Ibu terus-menerus mengatur. Aku lelah, Bu! Aku juga ingin bebas dengan hidupku!"
"Maksudmu, kau menyesal merawatku?"
"Aku tidak pernah mengatakan itu!"
"Tapi, aku mendengar kau tadi mengatakan itu!"
"Terserah Ibu sajalah!"
"Ingat, suatu saat nanti kau akan merindukanku!"
"Aku tidak akan merindukan Ibu jika sikap Ibu terus-terusan seperti ini!"
"Tari ...!"
Pertengkaran antara aku dan Ibu telah mencapai puncaknya. Kami sama-sama kacau dan sama-sama tersulut api. Aku cepat keluar rumah, membanting pintu di belakangku. Batinku terluka, bukan hanya karena sedih dengan kata-katanya, tetapi aku menilai kami sudah tidak bisa lagi berbicara secara baik-baik.