"Bisakah Ibu duduk saja di kursi makan? Biar aku selesaikan semuanya sendiri!" ujarku geram.
Ibu lalu menjauh dari dapur sambil menggerutu dan aku tidak mendengar jelas apa yang dia gerutukan itu.
Ibu menuju meja makan di ruang tengah dengan langkah yang tidak bisa dikatakan cepat. Alat bantu jalan, yang memiliki empat kaki dan dua roda kecil di bagian depan, justru membuat langkahnya kian berat. Aku hanya bisa melihatnya di antara sesal dan kasihan.
Dulu, Ibu baik-baik saja, sebelum Bapak meninggalkan kami. Ibu sosok yang tenang dan jarang sekali berbicara panjang, apalagi bernada tinggi. Dia selalu sabar, tidak pernah mengomel, bahkan tidak pernah mengeluhkan apa pun---sepanjang yang aku tahu.
Setelah Bapak tiada, entahlah, segalanya berubah. Mungkin karena kesedihan mendalam dan kehilangan besar, juga karena hidup kami yang tidak lagi sama, Ibu menjadi sensitif dan mudah cemas. Dia lantas melampiaskannya semua kepadaku.
Kemudian, gejala stroke menyerangnya dan makin memperburuk keadaan. Ibu jadi sering banyak bicara, bawel, dan mengeluhkan banyak hal kecil yang sebelumnya tidak pernah dia pedulikan. Dia seolah-olah tidak bisa berhenti mengeluarkan kata-kata dari mulutnya, kecuali tengah tertidur atau terpekur di atas kain ibadah di pojok ruangan.
"Dokter bilang, rahangku harus terus bergerak supaya tidak kram. Jadi, aku harus sering-sering bergerak dan berbicara."
Itulah alasan Ibu mengapa dia seperti keranjingan berbicara. Padahal, arah yang kutangkap dari nasihat dokter itu, sebenarnya dokter hendak memberi saran supaya Ibu rajin menggerakkan tubuh, termasuk rahang, dengan berolah raga, tanpa harus selalu mengeluarkan suara atau banyak berbicara.
Namun, begitulah Ibu. Dia seakan-akan membenarkan sendiri metode pengobatan untuk sakitnya. Cuma, makin ke sini yang kudengar, kata-kata yang diucapkan Ibu makin mulai ada jeda---sedikit terbata-bata. Apakah stadium sakit Ibu kian meningkat? Jujur, aku mengkhawatirkannya.
"Mau ke mana lagi kau, Tari?" tanya Ibu ketika melihat aku bersiap-siap untuk pergi keluar, "tidak bisakah kau di rumah saja malam ini?"
"Aku sudah ada janji dengan teman-teman, Bu."