Suara itu terus berseru di dalam kegelapan. Bisa jadi dialah pejuang kemerdekaan yang sesungguhnya dan hendak melawan kelas penguasa yang eksploitatif dan menindas atau mungkin dia seseorang pembelot berkemeja cokelat dari pihak penguasa, yang justru tulus menawarkan keselamatan kepada rakyat.
Dimbala tidak peduli suara siapa yang dia dengar dan siapa yang harus dia lawan. Tubuhnya terlanjur lemah untuk mengetahui semua itu hingga kemudian dia lemah terkulai di atas tanah.
Tubuh anaknya terlepas dari kain panjang yang melekat di badannya. Anaknya lalu terinjak-injak tanpa kesadaran orang-orang yang terus memberontak membabi buta, memikirkan kehidupan mereka sendiri-sendiri.
Dalam kedurjanaan malam itu, Dimbala masih sempat melihat anaknya luka berdarah, tetapi masih sempat tertidur kembali seraya mengulas senyum menawan dari bibirnya yang mungil. Dimbala pun kemudian merasakan kehadiran sosok hitam bersayap. Makhluk berwujud tidak lazim itu lantas mengangkat tubuhnya menuju arah pusaran terang di langit kelam.
***
Shyants Eleftheria, Salam Literasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H