Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Musuh Sebenarnya

11 April 2024   20:21 Diperbarui: 11 April 2024   20:30 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wanita menangis menghadapi musuh sebenarnya akibat perang| sumber gambar pixabay

---

Dimbala menyaksikan sendiri kota kecilnya telah hancur lebur terluluh lantak akibat perang. Perang yang tidak pernah diminta oleh para rakyat jelata. Perang yang terjadi akibat perebutan kekuasaan antar negara disebabkan kerakusan kaum penguasa. Bertahun-tahun terjadi pembunuhan di mana-mana dengan rasa marah yang terpaksa. Hingga empat tahun berlalu, pembunuhan pun berakhir, tetapi kehancuran negerinya ternyata baru saja dimulai.

Mereka yang selamat harus menelan kepahitan hidup, sebagaimana hidup yang teramat pahit yang dirasakan Dimbala. Perempuan kurus itu pun telah merasakan bagaimana harus ikut menelan beban biaya perang yang luar biasa mahal, sampai-sampai nyawa ayahnya, saudara laki-lakinya, dan juga suaminya pun yang terenggut oleh mesiu-mesiu laknat harus turut dikorbankan untuk membayarnya.

Dimbala lantas tertinggal sendirian di dunia yang tidak lagi dikenalnya. Yang bisa dia lakukan hanyalah menjaga keselamatan putra kecil satu-satunya yang masih diberikan napas oleh Tuhan meski hal itu pun menjadi makin mustahil dari hari ke hari.

Dimbala sudah tidak mampu lagi berpikir bagaimana melanjutkan kehidupannya yang sudah mulai tidak terarah. Tubuhnya yang ringkih dengan tulang belikat yang menonjol di bagian belakang badannya itu hanya mampu memeluk putranya dalam tangisan setiap hari. Dia bahkan tidak berani memberikan harapan apa pun kepada laki-laki mungilnya itu andaikata peluang hidup mereka masih berlanjut.

Dimbala terus memeluk putranya yang tertidur. Dia yakin, anaknya itu tertidur karena terlalu lapar, sementara persediaan rotinya sudah habis dan air minum pun tersisa sedikit. Dimbala lalu berdoa agar Tuhan mengirimkan segera makanan untuknya, sekadar untuk bertahan hidup.

Siang yang terik, tiba-tiba seorang laki-laki berperawakan kecil dan berkulit hitam yang sama dengannya, tanpa alas kaki, berlari-lari sepanjang pemukimannya sambil berteriak-teriak.

"Jatah makanan sudah datang! Jatah makanan sudah datang!"

Dimbala merasakan secepat itu Tuhan mendengarkan doanya. Dia segera bangkit dan memanggil laki-laki legam yang menyebarkan berita gembira tersebut untuk memastikan bahwa kabar yang didengarnya itu sungguh-sungguh benar adanya.

"Kau tidak berbohong, kan?" tanyanya.

"Betul, Dimbala. Mobil truk pengangkut makanan sudah ada di lapangan. Bergegaslah pergi ke sana sebelum kehabisan!"

Mata cekung Dimbala berbinar dan hatinya pun bersorak senang. Dimbala segera mengambil kain lusuh panjang untuk menggendong tubuh anaknya yang masih tertidur pulas. Terbayang olehnya, wajah anaknya akan tersenyum lagi ketika bangun karena perut kecilnya akan segera terisi penuh.

Dimbala menuju tanah lapang dengan kaki yang tidak beralas. Baginya, panasnya jalanan yang jelas-jelas dapat membuat kakinya melepuh tidak lebih buruk keadaannya dibandingkan apabila dia tidak mendapatkan makanan secuil pun. Maka bergegaslah dia berjalan cepat, beriringan dengan kaki-kaki dari orang-orang yang satu nasib dengannya menuju tempat pembagian jatah makanan.

Dimbala masih berada di antara manusia-manusia dengan perut yang sama menahan lapar. Mereka terus saja berdiri mengantre selama berjam-jam, menunggu satu-satunya kesempatan hanya untuk mendapatkan makan.

Sungguh malang bagi sebagian mereka, termasuk Dimbala, ketika beberapa jam berlalu dan matahari mulai tenggelam, seorang petugas berseragam cokelat sekonyong-konyong mengumumkan bahwa makanan yang tersedia telah habis.

Antrean yang tersisa itu pun dengan cepat menjadi gerombolan orang-orang kelaparan yang berteriak-teriak meminta makanan untuk keluarga mereka. Mereka satu sama lain terpaksa harus berebut sisa makanan yang bisa mereka dapatkan karena kemarahan tersebut sejatinya menutupi penyebab penderitaan mereka yang sesungguhnya: mereka telah mengecewakan harapan keluarga mereka yang menunggu dengan sangat kelaparan.

Dimbala melihat penghinaan itu serta rasa malu itu berubah menjadi kekerasan yang benar-benar brutal di sekelilingnya. Putranya terbangun dan menangis, tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain menerobos massa yang menggeliat penuh kemarahan.

Tanpa terduga oleh Dimbala, di tengah kerumunan itu, tiba-tiba pukulan tinju mendarat di punggungnya, tulang rusuknya, dan tengkoraknya. Dia tidak mengetahui siapa yang melakukannya. Sontak saja telinganya berdengung dan rasa perih yang tajam dari gigi menembus daging memenuhi mulutnya dengan apa yang hanya bisa digambarkan sebagai rasa takut yang teramat perih.

Dimbala terjerembab jatuh ke tanah dalam kondisi masih mendekap putranya di dadanya. Dia terlalu terguncang untuk menahan napas saat pertarungan berlanjut di sekitarnya sampai-sampai isak tangis memerah keluar dari bibirnya.

Satu seruan suara yang cukup kuat tiba-tiba menembus kekacauan yang tak terbendung seperti api yang berkobar di malam yang penuh badai.

"Musuh kita adalah para penguasa di negeri sendiri!" Begitulah suara teriakannya.

"Kita sebagai rakyat dipaksa bertarung padahal kita menjadi lebih baik dari apa yang mereka paksakan. Penguasa ingin kita bertarung satu sama lain, padahal merekalah yang seharusnya kita lawan. Mereka adalah musuh yang sebenarnya dan merekalah yang harus kita hancurkan! Hancurkan mereka!"

Suara itu terus berseru di dalam kegelapan. Bisa jadi dialah pejuang kemerdekaan yang sesungguhnya dan hendak melawan kelas penguasa yang eksploitatif dan menindas atau mungkin dia seseorang pembelot berkemeja cokelat dari pihak penguasa, yang justru tulus menawarkan keselamatan kepada rakyat.

Dimbala tidak peduli suara siapa yang dia dengar dan siapa yang harus dia lawan. Tubuhnya terlanjur lemah untuk mengetahui semua itu hingga kemudian dia lemah terkulai di atas tanah.

Tubuh anaknya terlepas dari kain panjang yang melekat di badannya. Anaknya lalu terinjak-injak tanpa kesadaran orang-orang yang terus memberontak membabi buta, memikirkan kehidupan mereka sendiri-sendiri.

Dalam kedurjanaan malam itu, Dimbala masih sempat melihat anaknya luka berdarah, tetapi masih sempat tertidur kembali seraya mengulas senyum menawan dari bibirnya yang mungil. Dimbala pun kemudian merasakan kehadiran sosok hitam bersayap. Makhluk berwujud tidak lazim itu lantas mengangkat tubuhnya menuju arah pusaran terang di langit kelam.

***

Shyants Eleftheria, Salam Literasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun