Mata cekung Dimbala berbinar dan hatinya pun bersorak senang. Dimbala segera mengambil kain lusuh panjang untuk menggendong tubuh anaknya yang masih tertidur pulas. Terbayang olehnya, wajah anaknya akan tersenyum lagi ketika bangun karena perut kecilnya akan segera terisi penuh.
Dimbala menuju tanah lapang dengan kaki yang tidak beralas. Baginya, panasnya jalanan yang jelas-jelas dapat membuat kakinya melepuh tidak lebih buruk keadaannya dibandingkan apabila dia tidak mendapatkan makanan secuil pun. Maka bergegaslah dia berjalan cepat, beriringan dengan kaki-kaki dari orang-orang yang satu nasib dengannya menuju tempat pembagian jatah makanan.
Dimbala masih berada di antara manusia-manusia dengan perut yang sama menahan lapar. Mereka terus saja berdiri mengantre selama berjam-jam, menunggu satu-satunya kesempatan hanya untuk mendapatkan makan.
Sungguh malang bagi sebagian mereka, termasuk Dimbala, ketika beberapa jam berlalu dan matahari mulai tenggelam, seorang petugas berseragam cokelat sekonyong-konyong mengumumkan bahwa makanan yang tersedia telah habis.
Antrean yang tersisa itu pun dengan cepat menjadi gerombolan orang-orang kelaparan yang berteriak-teriak meminta makanan untuk keluarga mereka. Mereka satu sama lain terpaksa harus berebut sisa makanan yang bisa mereka dapatkan karena kemarahan tersebut sejatinya menutupi penyebab penderitaan mereka yang sesungguhnya: mereka telah mengecewakan harapan keluarga mereka yang menunggu dengan sangat kelaparan.
Dimbala melihat penghinaan itu serta rasa malu itu berubah menjadi kekerasan yang benar-benar brutal di sekelilingnya. Putranya terbangun dan menangis, tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain menerobos massa yang menggeliat penuh kemarahan.
Tanpa terduga oleh Dimbala, di tengah kerumunan itu, tiba-tiba pukulan tinju mendarat di punggungnya, tulang rusuknya, dan tengkoraknya. Dia tidak mengetahui siapa yang melakukannya. Sontak saja telinganya berdengung dan rasa perih yang tajam dari gigi menembus daging memenuhi mulutnya dengan apa yang hanya bisa digambarkan sebagai rasa takut yang teramat perih.
Dimbala terjerembab jatuh ke tanah dalam kondisi masih mendekap putranya di dadanya. Dia terlalu terguncang untuk menahan napas saat pertarungan berlanjut di sekitarnya sampai-sampai isak tangis memerah keluar dari bibirnya.
Satu seruan suara yang cukup kuat tiba-tiba menembus kekacauan yang tak terbendung seperti api yang berkobar di malam yang penuh badai.
"Musuh kita adalah para penguasa di negeri sendiri!" Begitulah suara teriakannya.
"Kita sebagai rakyat dipaksa bertarung padahal kita menjadi lebih baik dari apa yang mereka paksakan. Penguasa ingin kita bertarung satu sama lain, padahal merekalah yang seharusnya kita lawan. Mereka adalah musuh yang sebenarnya dan merekalah yang harus kita hancurkan! Hancurkan mereka!"