Alasan lain mengapa dunia tampak jauh lebih buruk daripada yang orang-orang lihat adalah karena berita berbicara tentang hal-hal yang benar-benar terjadi dan bukan hal-hal yang tidak terjadi. Orang-orang tidak mendengar tentang kekacauan politik, misalnya, yang tidak pernah dimulai karena situasi yang baik-baik saja, sebab pasti ada faktor pemicunya.Â
Masyarakat akhirnya jarang mendengar berita baik karena sekali lagi, ini tidak semenarik berita buruk. Sedihnya, selama hal-hal buruk terus terjadi di muka bumi, ini akan selalu ada cukup banyak laporan negatif untuk mengisi berita, terutama dengan ponsel pintar yang kini memungkinkan orang secara pribadi menjadi reporter amatir dan penyelidik kejahatan. Sindrom dunia yang kejam berbicara langsung tentang ketakutan bawaan manusia yang kemudian memicu naluri masyarakat untuk melawan atau lari.Â
Meskipun karakteristik kelangsungan hidup ini sangat penting pada masa sekarang, saat ini yang media lakukan hanyalah menimbulkan kecemasan, stres, bahkan trauma. Namun, dunia ini tidak seburuk yang dikira, yang ada hanya cerita saja. Inilah sebabnya  untuk memerangi sindrom dunia yang kejam, masyarakat harus mengambil kembali cara mereka berpikir, merasakan, dan bereaksi terhadap berita-berita negatif atau kekerasan yang terus menerus muncul di sekitar mereka.
Meski masih ada konflik di banyak tempat di negeri ini, masalah politik yang harus berujung, masalah sosial yang harus dipangkas, masalah hak asasi manusia yang perlu semua atasi, masalah perubahan iklim yang perlu diperbaiki, tetapi dunia belum pernah sebaik sekarang ini---setidaknya bagi sebagian besar masyarakat. Dalam skala global dan pribadi, masyarakat menghadapi kenyataan pahit hampir setiap hari, tetapi karena tragedi seolah-olah ditampilkan sebagai hal yang biasa dan bukan hal yang asing, wajar saja jika masyarakat merasa marah atau takut.Â
Jadi, kita perlu memilih sumber informasi dengan hati-hati dan tidak membiarkan algoritma media sosial yang obsesif mendominasi persepsi kita tentang dunia. Kita harus sadar akan pendekatan terhadap berita supaya dapat mengubah cara berpikir kita.Â
Ketika menelusuri laman jejaring sosial, atau lapak daring, dan menemukan berbagai berita yang meresahkan, kita secara cerdas akan bertanya, apakah itu fakta atau fiksi? Apa bukti nyata kejadiannya? Apa konteksnya? Atau apakah kita hanya dimanipulasi sehingga timbul perasaan takut dan curiga tertentu? Jika menemukan platform media sosial menyajikan jenis konten yang sama, kita akan terpicu untuk mewaspadainya sehingga akhirnya mendiversifikasi umpan berita mereka dengan memasukkan hal-hal positif untuk menyeimbangi hal-hal negatif.Â
Pada akhirnya, sebagai bagian dari masyarakat, kita adalah spesies yang suka bercerita dan jika belajar sesuatu dari sejarah, maka narasi yang kita bagikan satu sama lain adalah hal yang paling penting, kisah-kisah yang kita ceritakan sekarang memiliki pengaruh besar dalam membentuk budaya dan masyarakat kita.Â
Mungkin saatnya kita kembali bercerita seperti anjing darat dan anjing laut. Mungkin jika kita melakukannya, kita dapat menimbulkan nilai-nilai yang benar-benar menjadikan kita manusia yang peduIi satu sama lain, berbelas kasih, dan memberikan manfaat bagi orang lain. Dunia ini tidak sekejam yang media ingin kita percayai. Sudah waktunya kita berhenti membiarkan mereka berbohong kepada kita.
---Â
-Shyants Eleftheria, Salam Cerdas Literasi-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H