Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengaruh Berita Buruk dalam Menciptakan Sindrom Dunia yang Kejam

24 Maret 2024   11:57 Diperbarui: 25 Maret 2024   17:38 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah "sindrom dunia yang kejam" atau "mean world syndrome" yang pertama kali dicetuskan oleh Dr. George Gerbner pada tahun 1970, saat sedang melakukan penelitian tentang dampak konten terkait kekerasan terhadap pandangan orang-orang terhadap dunia, menunjukkan bahwa banyaknya kekerasan, baik melalui hiburan atau berita, dapat menyebabkan semacam bias kognitif yang membuat sebagian besar kita menganggap dunia lebih berbahaya daripada yang sebenarnya. 

Hal yang paling menarik dari istilah ini (tidak peduli apakah masyarakat mengetahui konten yang dikonsumsi mereka merupakan konten faktual, seperti laporan berita, atau fiksi, seperti film) adalah efeknya tetap sama. Ketika terus-terusan dibombardir dengan informasi negatif, mereka mulai mengembangkan pandangan kehidupan yang sangat skeptis, curiga dan pesimis. 

Jika hanya hal itu satu-satunya masalah media, mungkin masalahnya tidak terlalu buruk. Yang justru akan membuat kita merinding adalah orang-orang bodoh akan lebih bergantung, lebih mudah dimanipulasi atau dikendalikan, dan lebih rentan terhadap tindakan yang tampak sederhana, padahal justru memberi pengaruh garis keras terhadap pola pikir mereka. 

Mungkinkah media dirancang untuk menyajikan berita terburuk kepada masyarakat untuk menanamkan rasa takut pada diri mereka sehingga mereka dapat lebih mudah dikendalikan oleh penguasa? Hal ini menjadi lebih masuk akal jika kita mempertimbangkan fakta bahwa sebagian besar media dikendalikan hanya oleh kaum kapitalis yang mengambil alih sebagian besar berita yang kemudian disebarkan ke seluruh penjuru wilayah masyarakat.

Katakanlah situasinya tidak seburuk itu, dan masyarakat kita tidak dikendalikan secara subversif oleh beberapa dalang pembuat ide berita, paling tidak semua media menginginkan satu hal yang sama, yaitu perhatian masyarakat---dan beberapa dari media-media itu akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Kelompok media mengetahui bahwa orang-orang lebih cenderung memperhatikan dan mengingat hal-hal negatif. Itulah sebabnya sebagian besar yang menyukainya akan menemukan lebih banyak berita negatif daripada berita positif di lapak platformnya. 

Hal tersebut merupakan wujud polarisasi yang menarik dan membuat orang-orang terpaku pada layar digital yang pada gilirannya menghasilkan lebih banyak pendapatan bagi pengiklan yang berperan mengalihkan perhatian (dalam hal ini lebih diuntungkan). Begitu orang-orang mulai menaruh perhatian, algoritma media sosial mengambil alih dan tiba-tiba mereka terus-menerus diberi berita yang menegaskan keyakinan mereka dan makin memperkuat pandangan mereka yang sudah menyimpang. 

Bukan rahasia lagi bahwa konten kontroversial atau konten yang memicu respons emosional merupakan konten yang memiliki performa terbaik, paling banyak dibagikan, dan paling lama beredar. Jadi, suka atau tidak suka, masyarakat dibombardir dengan konten polarisasi yang tidak ada habisnya yang hanya membuat mereka semakin skeptis terhadap kondisi di sekitar mereka dan curiga terhadap siapa pun yang tidak memiliki keyakinan yang sama dengan mereka. 

Masyarakat pada akhirnya malah terpecah belah dan bukannya bersatu seperti cerita-cerita di masa lalu. Kenyataan yang menyedihkan adalah, entah keadaan negeri makin buruk atau tidak, media hampir  selalu membuat orang-orang berpikir demikian, hanya karena hal tersebut baik untuk bisnis. 

Kebenaran yang seharusnya merupakan representasi fakta yang tidak memihak, tidak lagi menjadi inti pemberitaan. Cerita menjadi jauh lebih penting dan cerita yang menimbulkan emosi negatif sering kali mendapat lebih banyak perhatian, reaksi, dan pendapatan iklan. 

Akibatnya, permasalahan yang terus-menerus digambarkan dalam film, media berita, dan media sosial, selalu dilebih-lebihkan hingga pada titik di mana masyarakat mungkin merasa tidak ada lagi harapan untuk melakukan apa pun untuk mengatasinya. Yang lebih buruk lagi adalah paparan terus-menerus terhadap informasi negatif yang tanpa henti didorong oleh algoritma obsesif dapat membingungkan otak sehingga hampir mustahil bisa membedakan antara fakta menarik dan fiksi yang mendebarkan. 

Fakta bahwa berita palsu menyebar di media sosial jauh lebih cepat, lebih jauh, dan lebih dalam dibandingkan kebenarannya, juga ditemukan bahwa kesalahan informasi itu tidak disebarkan melalui bot, namun oleh tangan manusia dalam arti yang sebenarnya, yang turut menyebarkan. Sama seperti algoritma ini, otak manusia mengenali bahwa informasi yang paling memolarisasi, benar atau tidak, adalah informasi yang akan menjadi mewabah (viral) dan menimbulkan respons paling emosional dari  masyarakat luas tanpa terlebih dahulu memverifikasi apakah informasi yang tersebar itu akurat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun