Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yunus dan Suara Katarsis

18 Maret 2024   02:41 Diperbarui: 11 April 2024   20:25 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang anak yang mengalami luka batin akibat kehilangan keluarganya dan ingin melakukan proses katarsis | Sumber gambar pixabay.com

Yunus Al Qardhawi mengamuk!

Betapapun huru-hara itu menyentakku, aku belum betul-betul percaya Yunus telah berbuat onar. Alih-alih memulainya, sejak bergabung ke sekolah ini, setahuku, anak itu lebih banyak diam mengungkung diri.

Setahuku pula, Yunus terbiasa mengasing di sekolah. Kala jam istirahat berlangsung, ia kerap betah memantul-mantulkan bola karet ke dinding bangunan sekolah sebab terlampau enggan berbaur bersama teman-temannya.

Menyelisik kejadian itu, dari penuturan murid yang melihatnya dan bersedia bersaksi, Yunus memantulkan bolanya terlalu kencang hingga terpental dan jatuh di dekat tiga anak laki-laki yang sedang berbincang. Ketiganya itu lantas berulah dengan melemparkan bola bergiliran ke sesama mereka sehingga membuat Yunus mondar-mandir kepayahan mengejar bolanya.

Walhasil, emosi Yunus meletup-letup. Ia menyeruduk anak yang memegang bola terakhir, menjatuhkannya, menduduki tubuhnya, lalu menghajar wajah anak yang ikut menjahilinya itu berkali-kali persis seorang petarung yang berambisi menghabisi lawan. Anak-anak lain riuh menyoraki mereka seolah-olah pergumulan itu menjadi semacam pertunjukan menarik.

Yunus unggul, sedangkan anak yang menjadi korbannya menjerit kesakitan karena pelipis dan bibirnya berdarah. Barangkali jika tidak ada yang menarik tubuhnya, Yunus akan terus membrutal. Ketika penjaga sekolah kemudian mendatangi kekacauan itu, Yunus bereaksi di luar kendali. Ia berteriak-teriak, lalu berlari menuju tembok dan menelungkupkan wajahnya di sana.

Kepala sekolah memintaku menemuinya terkait kericuhan itu.

"Saya minta maaf, Tuan Matthew, tetapi ini seperti terdengar tidak adil. Kita tidak tahu apa-apa tentang Yunus dan apa yang ia alami. Saya bahkan mendatangi rumahnya, tetapi orang-orang di sana tidak mengatakan apa-apa, sementara Yunus baru sebelas bulan di sini dan bukan waktu yang cukup untuk menghakiminya. Saya tahu ia pemurung dan sulit ditebak. Demi Tuhan, pertama kali ia muncul, tidak seorang pun mau menjadi kawannya. Bisakah kita memakluminya?"

"Tolong mengertilah, Nona Rebecca, saya bukanlah musuh kalian. Saya ingin ia di sini, di sekolah umum anak-anak. Tapi saya harus menjaga murid-murid yang lain juga. Mereka takut dan bingung karena sikap Yunus. Saya juga melihat cara mereka menghindarinya, bahkan sebagian lain menindasnya. Sungguh, saya tersentuh dan membelanya. Namun, apa yang terjadi terakhir ini benar-benar tidak bisa diterima."

"Ya, saya mengerti, tetapi bisakah dilihat juga, Yunus sangat cerdas. Statistik matematikanya meningkat. Bahasa Inggrisnya sudah hampir fasih. Sainsnya maju. Bakat seninya pun bagus."

"Saya tidak membantah apa yang Anda katakan, Nona Rebecca."

"Ia berperilaku buruk sebab ada pemicu reaksinya. Itu saya pahami. Saya kira ia memberontak karena sedikit mengalami krisis mental. Jadi, Tuan Matthew, izinkan saya berbicara dengannya."

"Baiklah. Kasus ini sudah sampai ke telinga Dewan Peninjau Sekolah. Perwakilannya akan berkunjung Rabu depan ke sekolah kita. Ia akan duduk di kelas dan melihat perilaku Yunus. Saya harus tegas, Nona Rebecca, harus ada perbaikan yang nyata atau saya akan merekomendasikan tindakan khusus untuknya."

Aku mencoba meyakinkan Tuan Matthew dengan cara yang ingin kutempuh.

Pada hari ketika aku meminta Yunus untuk datang pagi-pagi, ia sudah ada di kursi kelas sambil memainkan bola kecil di tangannya. Aku memutar kursi di depannya agar kami bisa duduk berhadapan.

Dalam pengamatanku, anak laki-laki enam belas tahunan ini memang berbeda dari kebanyakan siswa di sini yang berkulit putih dan berambut pirang. Yunus berkulit cokelat, berhidung sedikit terbungkus ke bawah, dan berambut hitam.

Namun, tampaknya perbedaan itu bukanlah penyebab mengapa ia selalu membisu dan bermuka masam. Aku justru melihat sebuah misteri tersembunyi di balik sorot matanya yang tajam dengan penegasan alis mata yang tebal dan kuat. Misteri itu seakan-akan membuatnya masuk lebih jauh ke cangkang tubuhnya sehingga ia kesulitan meleburkan diri ke lingkungan sekitar.

Sikapnya memang mengkhawatirkanku sebagai guru di kelasnya, tetapi aku tidak ingin memastikan sebuah jawaban tanpa perlu pembuktian apa-apa. Aku hanya berpikir apakah lingkungan sekolah ini adalah tempat yang terbaik untuknya atau tidak.

"Begini, Yunus, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepadamu. Jadi, aku akan memberimu dua pilihan. Kau ingin mendengarnya?"

Yunus menunduk, tidak menjawab satu kata pun, tetapi kuanggap ia ingin mendengarkanku.

"Pertama, teruskan menutup diri. Dengan begitu, sekolah akan menarikmu keluar dan memindahkanmu ke sekolah rehabilitasi. Kau akan terkurung di sana dengan pengawasan ketat. Mereka akan mengajarimu dengan cara berbeda karena menganggapmu anak yang bermasalah atau sakit. Mereka juga akan memberimu obat-obatan yang membuatmu lebih baik."

Yunus terus mengunci mulutnya, tetapi ada semacam entakan yang kudengar dari embusan keras napasnya seolah-olah mengisyaratkan itu bukanlah pilihannya.

"Kedua, tolong dengarkan saksama karena ini seperti secercah harapan bagus untukmu. Lupakan semuanya, apa pun itu. Jika kau tidak menginginkan masa lalumu, tinggalkanlah. Berhentilah menyembunyikan diri. Sudah saatnya menunjukkan kepada semua orang betapa briliannya dirimu. Bersuaralah dan katakanlah kalau kau bukanlah anak yang rumit."

Mungkin pilihan ini juga sulit bagi Yunus. Hanya, ia harus memilih salah satu dari keduanya karena tidak ada pilihan lain lagi untuknya.

Pembicaraan kami terhenti oleh bunyi nyaring bel disertai langkah anak-anak bergemuruh masuk kelas, bersiap untuk belajar.

Pembelajaranku mengulas katarsis, tentang upaya pembersihan diri dari perasaan-perasaan negatif, tentu dengan menyederhanakan bahasa agar bisa dipahami semua murid. Aku menjelaskan mekanisme reaksi emosional terhadap apa yang memengaruhi mereka sehingga bisa tertawa, berteriak, menjerit, menangis, serta bagaimana mereka melepaskan emosi untuk membiarkannya keluar, bukan menyimpannya atau memendamnya.

Pada penghujung pelajaran, aku memberikan tugas menulis. Mereka harus mendeskripsikan secara detail tentang sesuatu yang menggugah hati sehingga membuat orang-orang seakan-akan merasakan sesuatu yang pernah mereka alami.

"Ingat! Tidak ada alasan lupa mengerjakan pekerjaan rumah! Rabu besok, kalian harus membacakannya satu per satu ke depan kelas karena kita kedatangan pihak dari luar sekolah yang turut menilainya."

Tibalah Rabu, sesuai wewenangnya, utusan dewan peninjau hadir dan duduk di kelasku. Aku menawarkan kepada anak-anak yang hendak pertama ke depan kelas membacakan tulisannya. Sebagian menunjuk tangan dan Yunus berada di bagian yang tidak menunjuk tangan.

Mataku sejurus menangkap gerak-gerik Yunus. Ia kulihat menggoyang-goyangkan tubuh serta memburu-buru napas seperti tengah diliputi kecemasan. Sekonyong-konyong ia berdiri, terpaku sejenak, lalu berjalan maju sebelum sempat kuputuskan menunjuk salah satu murid. Agaknya, ia berhasil mengalihkan seluruh pandangan ke arahnya.

Begitu ia membentangkan secarik kertas, tangannya terlihat gemetar, lalu ia membacanya dengan suara bergetar.

"Ketika usiaku sepuluh tahun, kehidupanku mulai berubah. Sebelumnya, aku masih tinggal di rumah besar bersama keluargaku di Timur Tengah. Kami selalu bermain bola di halaman luas dan itulah saat-saat terbaik dalam hidupku. Ayahku pejabat sipil, tapi ia sering kali bersuara tentang buruknya pemerintahan. Suatu hari Ayah pergi dan entah mengapa kami tidak pernah melihatnya lagi. Tidak lama, perang terjadi. Kami semua ketakutan. Adikku menangis hampir sepanjang malam sehingga ibuku harus memeluknya sambil bersenandung. Kemudian, entah bagaimana, kota kami lumpuh. Makanan berhenti datang ke wilayah kami. Kami bertahan dari makanan sisa di jalanan bersama kucing dan anjing liar. Satu hari, ketika Ibu dan kakak perempuanku pergi ke pasar, bom meledak. Kakakku selamat, tetapi ibuku sekarat. Ibuku bertahan tiga hari di kasur rumah sakit tanpa obat penghilang rasa sakit sampai ia tidak lagi mampu bernapas. Akulah yang selanjutnya menjaga kedua saudaraku. Aku meminta makanan dari tentara, terkadang pula mencurinya. Air keran tidak mengalir sehingga kami minum dari selokan atau genangan air. Kakakku terkena diare dan berakhir di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit ibuku. Tinggallah aku dan adikku. Suatu siang saat adikku tidur, sebuah ledakan merobohkan dinding rumah kami. Reruntuhannya sangat tinggi sampai-sampai aku tidak bisa melihat adikku yang tertimbun. Hari itu benar-benar hari terburukku karena aku tidak mempunyai keluarga lagi di dunia. Aku lalu meninggalkan negaraku melewati kawat berduri bersama para pengungsi lain. Mereka membayar truk petani untuk mengantar kami keluar dari perbatasan. Kami bersembunyi di bawah truk selama tiga minggu. Dua orang meninggal dalam perjalanan. Ketika kami tiba, seorang pria meletakkan cermin pada tongkat di bawah mobil dan menemukanku. Pria itu memberiku roti dan susu, lalu merawatku di rumahnya. Waktu berlalu, ia mengajakku ke Eropa, mengajariku bahasa Inggris, sampai kemudian mengirimku ke sekolah ini. Aku tahu aku pendiam dan aneh karena cukup sulit bagiku memahami segalanya, bagaimana aku bisa sampai di sini dan mengapa aku di sini. Aku juga bertanya-tanya, dapatkah semuanya ini terhapus dari ingatanku?"

Hening.

Dewan peninjau terdiam dan beberapa anak perempuan terisak pelan. Yunus kembali ke bangkunya, melipat kepalanya dalam-dalam. Mataku berair, lalu aku mulai menyekanya.

***

Shyants Eleftheria, Salam Literasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun