"Kedua, tolong dengarkan saksama karena ini seperti secercah harapan bagus untukmu. Lupakan semuanya, apa pun itu. Jika kau tidak menginginkan masa lalumu, tinggalkanlah. Berhentilah menyembunyikan diri. Sudah saatnya menunjukkan kepada semua orang betapa briliannya dirimu. Bersuaralah dan katakanlah kalau kau bukanlah anak yang rumit."
Mungkin pilihan ini juga sulit bagi Yunus. Hanya, ia harus memilih salah satu dari keduanya karena tidak ada pilihan lain lagi untuknya.
Pembicaraan kami terhenti oleh bunyi nyaring bel disertai langkah anak-anak bergemuruh masuk kelas, bersiap untuk belajar.
Pembelajaranku mengulas katarsis, tentang upaya pembersihan diri dari perasaan-perasaan negatif, tentu dengan menyederhanakan bahasa agar bisa dipahami semua murid. Aku menjelaskan mekanisme reaksi emosional terhadap apa yang memengaruhi mereka sehingga bisa tertawa, berteriak, menjerit, menangis, serta bagaimana mereka melepaskan emosi untuk membiarkannya keluar, bukan menyimpannya atau memendamnya.
Pada penghujung pelajaran, aku memberikan tugas menulis. Mereka harus mendeskripsikan secara detail tentang sesuatu yang menggugah hati sehingga membuat orang-orang seakan-akan merasakan sesuatu yang pernah mereka alami.
"Ingat! Tidak ada alasan lupa mengerjakan pekerjaan rumah! Rabu besok, kalian harus membacakannya satu per satu ke depan kelas karena kita kedatangan pihak dari luar sekolah yang turut menilainya."
Tibalah Rabu, sesuai wewenangnya, utusan dewan peninjau hadir dan duduk di kelasku. Aku menawarkan kepada anak-anak yang hendak pertama ke depan kelas membacakan tulisannya. Sebagian menunjuk tangan dan Yunus berada di bagian yang tidak menunjuk tangan.
Mataku sejurus menangkap gerak-gerik Yunus. Ia kulihat menggoyang-goyangkan tubuh serta memburu-buru napas seperti tengah diliputi kecemasan. Sekonyong-konyong ia berdiri, terpaku sejenak, lalu berjalan maju sebelum sempat kuputuskan menunjuk salah satu murid. Agaknya, ia berhasil mengalihkan seluruh pandangan ke arahnya.
Begitu ia membentangkan secarik kertas, tangannya terlihat gemetar, lalu ia membacanya dengan suara bergetar.
"Ketika usiaku sepuluh tahun, kehidupanku mulai berubah. Sebelumnya, aku masih tinggal di rumah besar bersama keluargaku di Timur Tengah. Kami selalu bermain bola di halaman luas dan itulah saat-saat terbaik dalam hidupku. Ayahku pejabat sipil, tapi ia sering kali bersuara tentang buruknya pemerintahan. Suatu hari Ayah pergi dan entah mengapa kami tidak pernah melihatnya lagi. Tidak lama, perang terjadi. Kami semua ketakutan. Adikku menangis hampir sepanjang malam sehingga ibuku harus memeluknya sambil bersenandung. Kemudian, entah bagaimana, kota kami lumpuh. Makanan berhenti datang ke wilayah kami. Kami bertahan dari makanan sisa di jalanan bersama kucing dan anjing liar. Satu hari, ketika Ibu dan kakak perempuanku pergi ke pasar, bom meledak. Kakakku selamat, tetapi ibuku sekarat. Ibuku bertahan tiga hari di kasur rumah sakit tanpa obat penghilang rasa sakit sampai ia tidak lagi mampu bernapas. Akulah yang selanjutnya menjaga kedua saudaraku. Aku meminta makanan dari tentara, terkadang pula mencurinya. Air keran tidak mengalir sehingga kami minum dari selokan atau genangan air. Kakakku terkena diare dan berakhir di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit ibuku. Tinggallah aku dan adikku. Suatu siang saat adikku tidur, sebuah ledakan merobohkan dinding rumah kami. Reruntuhannya sangat tinggi sampai-sampai aku tidak bisa melihat adikku yang tertimbun. Hari itu benar-benar hari terburukku karena aku tidak mempunyai keluarga lagi di dunia. Aku lalu meninggalkan negaraku melewati kawat berduri bersama para pengungsi lain. Mereka membayar truk petani untuk mengantar kami keluar dari perbatasan. Kami bersembunyi di bawah truk selama tiga minggu. Dua orang meninggal dalam perjalanan. Ketika kami tiba, seorang pria meletakkan cermin pada tongkat di bawah mobil dan menemukanku. Pria itu memberiku roti dan susu, lalu merawatku di rumahnya. Waktu berlalu, ia mengajakku ke Eropa, mengajariku bahasa Inggris, sampai kemudian mengirimku ke sekolah ini. Aku tahu aku pendiam dan aneh karena cukup sulit bagiku memahami segalanya, bagaimana aku bisa sampai di sini dan mengapa aku di sini. Aku juga bertanya-tanya, dapatkah semuanya ini terhapus dari ingatanku?"
Hening.