Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yunus dan Suara Katarsis

18 Maret 2024   02:41 Diperbarui: 11 April 2024   20:25 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang anak yang mengalami luka batin akibat kehilangan keluarganya dan ingin melakukan proses katarsis | Sumber gambar pixabay.com

"Ia berperilaku buruk sebab ada pemicu reaksinya. Itu saya pahami. Saya kira ia memberontak karena sedikit mengalami krisis mental. Jadi, Tuan Matthew, izinkan saya berbicara dengannya."

"Baiklah. Kasus ini sudah sampai ke telinga Dewan Peninjau Sekolah. Perwakilannya akan berkunjung Rabu depan ke sekolah kita. Ia akan duduk di kelas dan melihat perilaku Yunus. Saya harus tegas, Nona Rebecca, harus ada perbaikan yang nyata atau saya akan merekomendasikan tindakan khusus untuknya."

Aku mencoba meyakinkan Tuan Matthew dengan cara yang ingin kutempuh.

Pada hari ketika aku meminta Yunus untuk datang pagi-pagi, ia sudah ada di kursi kelas sambil memainkan bola kecil di tangannya. Aku memutar kursi di depannya agar kami bisa duduk berhadapan.

Dalam pengamatanku, anak laki-laki enam belas tahunan ini memang berbeda dari kebanyakan siswa di sini yang berkulit putih dan berambut pirang. Yunus berkulit cokelat, berhidung sedikit terbungkus ke bawah, dan berambut hitam.

Namun, tampaknya perbedaan itu bukanlah penyebab mengapa ia selalu membisu dan bermuka masam. Aku justru melihat sebuah misteri tersembunyi di balik sorot matanya yang tajam dengan penegasan alis mata yang tebal dan kuat. Misteri itu seakan-akan membuatnya masuk lebih jauh ke cangkang tubuhnya sehingga ia kesulitan meleburkan diri ke lingkungan sekitar.

Sikapnya memang mengkhawatirkanku sebagai guru di kelasnya, tetapi aku tidak ingin memastikan sebuah jawaban tanpa perlu pembuktian apa-apa. Aku hanya berpikir apakah lingkungan sekolah ini adalah tempat yang terbaik untuknya atau tidak.

"Begini, Yunus, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepadamu. Jadi, aku akan memberimu dua pilihan. Kau ingin mendengarnya?"

Yunus menunduk, tidak menjawab satu kata pun, tetapi kuanggap ia ingin mendengarkanku.

"Pertama, teruskan menutup diri. Dengan begitu, sekolah akan menarikmu keluar dan memindahkanmu ke sekolah rehabilitasi. Kau akan terkurung di sana dengan pengawasan ketat. Mereka akan mengajarimu dengan cara berbeda karena menganggapmu anak yang bermasalah atau sakit. Mereka juga akan memberimu obat-obatan yang membuatmu lebih baik."

Yunus terus mengunci mulutnya, tetapi ada semacam entakan yang kudengar dari embusan keras napasnya seolah-olah mengisyaratkan itu bukanlah pilihannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun