Aku kemudian mencari-cari alasan karena rona merah sepertinya sudah terlanjur menyemukan wajahku. "Tidak ada yang perlu aku sembunyikan meski sudah berlalu,"Â
Kamu terkesiap atas pernyataanku dan aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu tentang masa lalu kita itu. Ketika kita sama-sama menyeruput teh, mataku jeli menyoroti jari manis di tangan kananmu. Cincin pernikahanmu melingkar di sana.
***Â
"Haris tahu kamu mau datang ke sini?" tanyamu.
"Tidak. Kurasa dia tidak perlu tahu."
"Kamu selalu saja menyembunyikan sesuatu dari pasanganmu."
"Aku tidak pernah menyembunyikan apa pun. Ini bukan persoalan penting, kan?"
"Pada akhirnya semua akan jadi persoalan penting."
Kamu mungkin hendak menamparku dengan kata-kata itu. Aku tahu bahwa menurutmu akulah yang telah berbuat kesalahan terhadap pernikahan kita dulu. Aku terlalu egois dengan memikirkan kemajuan karierku tanpa memperhatikan sikapmu yang insecure terhadap pekerjaanmu. Kamu seniman, pelukis, di samping bekerja di kantor sebagai "art director". Hanya, kita tidak sehaluan tentang ide-ide menjalani biduk rumah tangga. Kamu terlalu santai, sementara aku ingin sesuatu itu terjadi secepatnya. Hal ini sering kali menjadi perdebatan kita dan berujung pada pertengkaran.
Pada saat yang tidak tepat, Haris datang. Seharusnya kita masih bisa menyelamatkan kapal agar tidak karam. Namun, agitasi Haris sebagai seseorang yang menurutku sempurna, ternyata terus-menerus menekanku untuk mengakhiri pernikahan kita. Kamu lalu melepasku untuk Haris, tanpa berupaya menahanku, dan itu menghadirkan kekecewaan juga terhadapku.
***Â