"Sudah, tidak usah banyak tanya. Segeralah pulang!"
Perasaanku tidak enak, tetapi aku tidak bisa menerka-nerka apa yang terjadi. Begitu sampai di rumah, Ibu sudah ada di pembaringan di kamarnya. Kata Bibi Mar, Ibu jatuh sempoyongan karena kelelahan. Beruntung Bibi Mar siang itu datang ke rumah, jadi bisa menolong Ibu dan merapikan pekerjaan Ibu di dapur.
"Jagalah Ibumu dulu, biar Bibi ke apotek mencari obat."
Aku menurut, lalu mendekati Ibu dan duduk di sampingnya. Mata Ibu terpejam dan tubuhnya panas---kemungkinan demam. Tidak lama, Ibu terbangun dan berkata dengan suara lirih.
"Darco, kau sudah besar sekarang, Nak. Maafkan Ibu tidak pernah mengajakmu bicara. Ibu---" Suara Ibu tersendat dan matanya berkaca-kaca.
"Ibu istirahat sajalah."
Bibi Mar datang membawa obat. Kukatakan kepada Bibi Mar kalau aku yang selanjutnya akan menjaga Ibu, jadi dia tidak perlu khawatir.
Momentum Ibu sakit hingga tiga hari lamanya, serta-merta membuat hubungan kami menjadi akrab. Ketika malam aku menemaninya di kamar sambil memijit-mijit kakinya, ketika itu pula Ibu mulai banyak bercerita tentang banyak hal yang belum aku ketahui.
Tentang Bapak, misalnya, bahwa dulu Bapak sempat mencurigai salah satu rekan kerjanya atas penggelembungan anggaran pengadaan barang dan jasa di kantornya. Semula, Bapak ingin bersuara dan ingin melaporkan segala bentuk kecurangan itu, tetapi mulut Bapak dibungkam dengan iming-iming nominal yang menggiurkan. Bapak sempat goyah karena saat itu memang sedang membutuhkan uang untuk membayar utang. Namun, Ibu tidak setuju dan tidak akan pernah setuju. Maka, Ibu meminta Bapak untuk tidak menerimanya---mungkin pertengkaran itulah yang kudengar malam-malam dari kamar mereka.
Tragis, kepergian Bapak sangat mengejutkan. Meski mengetahui kematian yang tidak wajar, Ibu tidak ingin mengusutnya. Ibu lebih memilih memikirkan beban hidup kami selanjutnya, apalagi harus menanggung juga beban utang Bapak. Perasaanku menjadi bersalah. Semestinya, akulah yang harus lebih peka dengan keadaannya, tentang beban beratnya, tentang tanggung jawabnya, tentang mengapa dia yang tidak sehangat dulu, tetapi aku anak laki-laki satu-satunya justru tidak pernah mau tahu. Betapa kurang ajarnya aku.
Ibu kemudian menggenggam tanganku, seolah-olah memberiku kekuatan, walaupun dia sendiri dalam keadaan lemah tidak berdaya. Aku berdoa agar kelak bisa meringankan Ibu, tidak menyusahkannya, dan tidak meminta apa pun lagi darinya, termasuk meminta laptop yang sudah lama aku inginkan.