Dulu, Bapak, Ibu, dan aku selalu menghabiskan hari ulang tahunku hanya kami bertiga. Bapak mendekorasi rumah dan Ibu menyiapkan kue, lalu kami duduk berdoa di ruang keluarga dan menyantap kuenya sampai aku merasa mual. Setelah itu, ulang tahunku tidak pernah ada lagi. Bahkan, Ibu mungkin sudah tidak pernah mengingat tanggal kelahiranku.
Bermula Ibu bermuram, seperti ada yang mengganjal pikirannya seharian penuh kala itu. Malam-malam, kudengar Ibu berkata dengan nada tinggi kepada Bapak dari balik kamar mereka yang tidak tertutup rapat, "Pokoknya, Ibu tidak setuju, Pak!"
Aku tidak tahu apa yang mereka perdebatkan karena ketika itu usiaku masih dua belas tahun dan aku tidak bisa menduga-duga permasalahan mereka. Satu bulan berselang, sesuatu yang buruk kemudian terjadi. Bapak berpulang karena sakit mendadak. Tubuhnya menguning dan perutnya sedikit membengkak. Kasak-kusuk orang-orang, Bapak diguna-guna. Cuma, Ibu diam saja dan air matanya terus-menerus berderai.
Kepergian Bapak seakan-akan membuat Ibu tidak ingin banyak bicara, tidak juga kepadaku, kecuali kepada Bibi Mar, adik tirinya, yang sering berkunjung ke rumah kami. Mereka berdua kerap kulihat terlibat obrolan panjang di balai-balai dapur---entah apa yang mereka bicarakan. Kadang-kadang Ibu terisak-isak dan Bibi Mar akan menepuk-nepuk pundak Ibu atau memeluknya.
Waktu terus berjalan dan kehidupan kami pun harus berlanjut. Bapak tidak meninggalkan banyak harta kepada kami, selain rumah layak huni dan satu unit sepeda motor lamanya---padahal setahuku, Bapak bekerja di kantor pemerintah daerah dan beberapa temannya bahkan sudah ada yang memiliki kehidupan mewah.
Motor Bapak akhirnya dijual dan Ibu memulai usaha kue rumahan. Setiap pagi Ibu sibuk membuat kue di dapur dan terkadang bila libur sekolah, aku membantunya mengirimkan kue-kue itu ke para pelanggan yang memesan. Pernah suatu hari, seorang ibu datang memesan kue dalam jumlah banyak, katanya, putranya berulang tahun dan kue-kue itu akan dibagikan ke anak-anak di panti asuhan. Aku kira Ibu akan terharu, lalu mulai bertanya-tanya lagi kepadaku kapan hari ulang tahunku. Ternyata aku salah, Ibu malah menyuruhku pergi ke kamar untuk belajar agar tidak mengganggu pekerjaannya.
Begitulah, Ibu terus berjibaku dengan kue-kuenya sehingga dia tidak pernah mempunyai waktu lagi untukku. Ibu tidak pernah bertanya tentang sekolahku, kegiatanku, atau apa saja yang kulakukan, sampai-sampai aku merasa dia mulai mengabaikanku.
Satu hari, saat kutunjukkan piagam penghargaan lomba mengarang bertema "ibu", Ibu sepertinya tidak tertarik, padahal piagam itu juara pertamaku memenangkan lomba menulis antar sekolah---Ibu mungkin tidak pernah tahu kalau aku suka menulis. Aku hanya bisa menangis di dalam kamar, lalu lembar piagam itu kurobek dan kubuang ke tempat sampah.
Hingga usiaku menginjak remaja, hubunganku dengan Ibu makin tidak merekat. Kami seperti dua orang yang berpunggungan kendati berdekatan. Meski demikian, suatu sore, aku menemuinya di dapur.
"Ibu, bolehkah aku minta laptop?"
"Ibu tidak mampu membeli laptop. Kita sudah banyak pengeluaran."
"Aku tidak pernah meminta apa pun, Bu. Kali ini saja."
"Sudah Ibu katakan, Darco! Ibu tidak mampu membelinya."
"Mengapa Ibu tidak peduli denganku? Tidak seperti Bapak. Mungkin kalau Bapak masih ada, dia pasti sudah membelikanku laptop."
"Kau tidak paham masalahnya."
"Kalau begitu, apa masalahnya?"
Ibu bergeming tidak menggubrisku. Dia menunduk, merapikan bungkus-bungkus kue di meja dapur, lalu memasukkannya ke dalam kardus. Wajah Ibu terlihat pasi dan peluh menetes di pelipisnya, tetapi aku tidak menghiraukannya. Bagiku, Ibu memang sudah tidak memikirkanku lagi.
Aku terlanjur kecewa terhadap sikap Ibu. Dia berubah, tidak sehangat ketika Bapak masih ada. Berhari-hari kemudian, aku lebih banyak berkurung di kamar, menghabiskan waktu untuk persiapan ujian sekolah, sambil menulis tentang apa yang ingin aku tuliskan pada lembaran-lembaran kertas. Kadang bila jenuh, sepulang sekolah aku akan pergi ke penyewaan komputer milik Bang Darius di dekat gedung sekolah, lalu berlama-lama di sana, mengetik draf tulisanku. Bang Darius pun tidak keberatan, mungkin karena aku memberinya kue sehingga dia tidak sempat menggerutu panjang---tentu saja aku juga membayar sewanya dengan uang jajanku walaupun Bang Darius hanya memintaku membayar seperempat harga.
Seperti siang itu, pulang sekolah aku kembali mampir ke tempat Bang Darius. Serupa biasanya, aku ingin meminjam komputer miliknya. Beberapa ide tulisan sudah ada di kepala, jadi aku ingin menuliskannya, lalu coba-coba mengirimkannya ke media walaupun sangat sulit menembusnya. Baru saja hendak memulai, sekonyong-konyong kantong celanaku bergetar. Ponselku berbunyi.
"Darco, pulanglah!" Suara Bibi Mar terdengar serak di ujung telepon.
"Ada apa, Bi?"
"Sudah, tidak usah banyak tanya. Segeralah pulang!"
Perasaanku tidak enak, tetapi aku tidak bisa menerka-nerka apa yang terjadi. Begitu sampai di rumah, Ibu sudah ada di pembaringan di kamarnya. Kata Bibi Mar, Ibu jatuh sempoyongan karena kelelahan. Beruntung Bibi Mar siang itu datang ke rumah, jadi bisa menolong Ibu dan merapikan pekerjaan Ibu di dapur.
"Jagalah Ibumu dulu, biar Bibi ke apotek mencari obat."
Aku menurut, lalu mendekati Ibu dan duduk di sampingnya. Mata Ibu terpejam dan tubuhnya panas---kemungkinan demam. Tidak lama, Ibu terbangun dan berkata dengan suara lirih.
"Darco, kau sudah besar sekarang, Nak. Maafkan Ibu tidak pernah mengajakmu bicara. Ibu---" Suara Ibu tersendat dan matanya berkaca-kaca.
"Ibu istirahat sajalah."
Bibi Mar datang membawa obat. Kukatakan kepada Bibi Mar kalau aku yang selanjutnya akan menjaga Ibu, jadi dia tidak perlu khawatir.
Momentum Ibu sakit hingga tiga hari lamanya, serta-merta membuat hubungan kami menjadi akrab. Ketika malam aku menemaninya di kamar sambil memijit-mijit kakinya, ketika itu pula Ibu mulai banyak bercerita tentang banyak hal yang belum aku ketahui.
Tentang Bapak, misalnya, bahwa dulu Bapak sempat mencurigai salah satu rekan kerjanya atas penggelembungan anggaran pengadaan barang dan jasa di kantornya. Semula, Bapak ingin bersuara dan ingin melaporkan segala bentuk kecurangan itu, tetapi mulut Bapak dibungkam dengan iming-iming nominal yang menggiurkan. Bapak sempat goyah karena saat itu memang sedang membutuhkan uang untuk membayar utang. Namun, Ibu tidak setuju dan tidak akan pernah setuju. Maka, Ibu meminta Bapak untuk tidak menerimanya---mungkin pertengkaran itulah yang kudengar malam-malam dari kamar mereka.
Tragis, kepergian Bapak sangat mengejutkan. Meski mengetahui kematian yang tidak wajar, Ibu tidak ingin mengusutnya. Ibu lebih memilih memikirkan beban hidup kami selanjutnya, apalagi harus menanggung juga beban utang Bapak. Perasaanku menjadi bersalah. Semestinya, akulah yang harus lebih peka dengan keadaannya, tentang beban beratnya, tentang tanggung jawabnya, tentang mengapa dia yang tidak sehangat dulu, tetapi aku anak laki-laki satu-satunya justru tidak pernah mau tahu. Betapa kurang ajarnya aku.
Ibu kemudian menggenggam tanganku, seolah-olah memberiku kekuatan, walaupun dia sendiri dalam keadaan lemah tidak berdaya. Aku berdoa agar kelak bisa meringankan Ibu, tidak menyusahkannya, dan tidak meminta apa pun lagi darinya, termasuk meminta laptop yang sudah lama aku inginkan.
"Kapan ulang tahunmu, Nak? Maafkan, Ibu lupa."
Pertanyaan Ibu sungguh tidak kuduga. Aku terenyuh dan mengatakan kepadanya kalau ulang tahunku bukanlah hal yang penting, asalkan Ibu sembuh dan kembali bersemangat, seperti dia menyemangatiku untuk terus bersekolah dan bisa melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Aku memang ingin sekali berkuliah di jurusan Ilmu Komunikasi.
Dan, tepat hari ini aku berulang tahun ke tujuh belas. Ibu membuat kue istimewa. Kami berdua merayakannya di ruang keluarga dengan sederhana dan bahagia meskipun tanpa dekorasi ruangan, meski juga tanpa Bapak.
"Bukalah!"
Ibu lalu menyerahkan sebuah kotak hitam berpita biru kepadaku seolah-olah sudah dipersiapkannya sejak lama. Mataku membelalak karena tidak percaya tatkala tanganku membuka kotaknya dan mengeluarkan gulungan piagam penghargaan lombaku yang dulu sempat kubuang. Sekarang piagam itu kembali menyatu dengan selotip bening. Ibu? Ternyata dia menemukannya dan menyimpannya.
Aku juga mengeluarkan amplop putih, tebal sekali. Sekali lagi, jantungku seperti ingin lepas ketika melihat di dalamnya terdapat setumpuk uang serta satu lembar brosur produk bergambar... laptop.
"Ya, Tuhan!"
Seketika aku memeluk Ibu dan menangis kencang. Kurasa, inilah tangisanku yang paling menyesakkan. Maafkan aku, Bu.
---
Shyants Eleftheria, Life is A Journey
Seseorang yang hanya ingin dikenal melalui karyanya saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H