“Maaf, Alena, kali ini saja.”
Mereka kemudian berdua duduk berdekatan, keadaan yang mungkin tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. Ibunya membelai rambut Alena seolah-olah masih ingin merasakan kalau putrinya itu adalah sosok kecil yang sejak dulu sudah keras kepala. Kekhawatiran tentang anaknya pun muncul.
“Kapan kau akan mengenalkan calon suamimu kepada Ibu?”
“Tolong, jangan memintaku untuk itu lagi, Bu. Aku tidak ingin bertemu seseorang yang kemudian berakhir seperti kalian. Lihat, aku mencintai hidupku, aku punya banyak teman. Aku bisa melakukan apa yang aku inginkan. Kebahagiaan milikku. Aku suka hidup sendiri, setidaknya untuk saat ini. Sekarang, aku baru pulang kerja, lelah sekali. Mungkin kita bisa bicara yang ringan-ringan saja, oke?”
“Baiklah, Ibu tidak akan membahasnya lagi. Dan kau jangan khawatir karena Ibu tidak akan lama di sini. Ibu akan segera pulang. Hanya saja ….”
“Apa, Bu?”
“Kau punya waktu malam ini?”
“Ya, Bu. Aku punya banyak pekerjaan lagi yang harus kuselesaikan. Mungkin besok malam kita akan menghabiskan waktu bersama. Kita bisa pergi ke tempat yang Ibu mau.”
Tidak ada seorang pun yang bisa menduga keadaan selanjutnya, bahwa keesokan harinya ibunya pingsan di dapur. Alena menangis, menelepon dokter, menelepon ayahnya juga agar segera datang ke rumah sakit.
Di rumah sakit, Alena dan ayahnya duduk saling berangkulan. Ayahnya seperti sudah menerima kenyataan pahit, tetapi tidak dengan Alena. Ia sangat marah kepada ayahnya, marah sekali, karena sengaja membiarkan kondisi ibunya sakit seperti itu.
Alena hanya bisa menyesalkan tindakannya yang tidak dapat diperbaiki lagi. Ibunya harus dirawat di rumah sakit sampai akhirnya membuat Alena menangis sejadi-jadinya, bahwa ibunya harus meninggal.