Malamnya, Alena masih sibuk dengan worksheet di notebooknya di dalam kamar. Ibunya muncul membawa baki dengan semangkuk mi telur brokoli hijau yang masih hangat.
“Kau lapar, Alena? Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu saat kecil.”
“Saya belum lapar, Bu, nanti saja.”
Ibunya hanya bisa memendam kecewa, air matanya tiba-tiba menetes dan akhirnya menghabiskan mi itu sendiri sambil menonton televisi. Semua masa berganti. Kadang-kadang, seorang anak tidak mau lagi mengadaptasikan kenangan masa kecil pada kehidupan dewasanya. Mungkin Alena lupa, ketika kecil, ia begitu lahap menyantap mi telur brokoli hijau dan tidak akan bosan meski hidangan itu disajikan setiap hari, sementara ibunya selalu mengingat kenangan itu.
Satu hari berlalu. Saat Alena masih bekerja di kantor secara rutin, ibunya mulai merapikan rumahnya yang berantakan, mencuci piring, menyetrika, dan menyapu. Bertepatan dengan Alena yang baru pulang, ibunya tidak sengaja menyenggol vas bunga di ruang tamu hingga jatuh dan pecah berantakan.
“Ibu, kenapa?”
“Tidak apa-apa, hanya pusing sedikit. Cuma butuh istirahat.”
Alena membawa ibunya untuk duduk di sofa, mengambilkannya minum, sebelum ia masuk ke kamarnya, lalu keluar lagi.
“Mengapa Ibu melakukan semuanya?”
“Rumahmu seperti kapal pecah, Alena.”
“Tapi Ibu tidak bisa masuk ke kamarku begitu saja dan memindahkan barang-barangku.”