Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tolong Dengarkan, Aku Ingin Bicara Sebentar Saja

19 Agustus 2023   14:30 Diperbarui: 20 Agustus 2023   04:27 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi remaja kesepian yang butuh teman bicara| sumber gambar pixabay.com

Mengapa perasaan lain seringkali muncul, padahal aku dikelilingi teman-teman yang ramai, termasuk Grey, pria termanis yang pernah kutemui di sekolah.

Di rumah, kakak perempuanku, Emily, sungguh menginspirasiku dengan kecantikannya. Ayah dan Ibu masih saling setia dan mereka sering bercengkerama berdua---itu yang kulihat. Adikku, Katty, terlepas dari sikap masa bodohnya dan cenderung sarkastis bila bicara, dia tidak pernah mengusikku lebih dari itu dan aku menghargainya. 

Kehidupanku sempurna. Setidaknya apa yang mungkin orang lain lihat dengan baik atau mungkin juga aku hanya ingin terlihat demikian. Ya, kupikir itu lebih mudah daripada mengatakan yang sebenarnya bahwa aku dihakimi, diejek, dibuat merasa terisolasi, terpencil, tidak normal, atau apalah.

Kenyataannya, aku sudah berada pada titik lelah berpura-pura dalam hidup, bahkan aku mengalami hari-hari yang membosankan.

Jika ada yang mengamati pergelangan tanganku, beberapa garis merah tampak berbaris tidak beraturan. Tentu saja, karena aku telah menyayat-nyayat tanganku dengan tidak memikirkan pola kerapiannya, tetapi kemudian sayatan-sayatan itu malah menyisakan perih, tidak membantuku sama sekali.

Mungkin terdengar lucu mengatakan bahwa depresi telah dialami perempuan belia enam belas tahun, yaitu aku, yang tidak terlihat seperti remaja depresi. Lingkunganku bisa saja berpikir kalau sikapku itu hanyalah bentuk mencari perhatian yang konyol. Tidak apa-apa, aku tidak seharusnya juga peduli dengan perkataan orang lain karena menurutku merasa tertekan merupakan hak bagiku merasakannya.

Hingga keinginan harus melepaskan beban pikiranku yang kacau, aku mendatangi kamar kerja Ayah. Dia sedemikian sibuk di mejanya seakan-akan pekerjaannya tidak pernah ada habisnya. 

"Ayah, bisakah aku bicara sebentar?"

Baca juga: Payah

"Ya, tentu saja, Sayang. Tapi jangan sekarang. Tolong beri Ayah waktu satu jam lagi, oke? Nanti kita bisa bicara banyak." 

"Pekerjaan Ayah lebih pentingkah?"

"Dengarkan Ayah. Ayah melakukan pekerjaan ini untuk kalian semua, Ibumu, Kakakmu, Adikmu, dan tentu saja untukmu. Ayah tidak ingin terganggu dulu dengan cerita anak perempuan tentang laki-laki yang disukainya."

"Ini bukan hanya tentang itu, Ayah."

"Baiklah, tentang apa? Tapi, tunggu! Ayah baru mendapat notifikasi email. Oh, Tuhan! Ayah baru sadar kalau malam ini tenggat waktu menyelesaikan pekerjaan Ayah. Sayang, Ayah janji, kita akan bicara nanti."

Jika sudah begitu, aku tidak ingin mengganggu Ayah lagi. Namun, aku juga tidak yakin apakah satu jam ke depan Ayah akan menepati janjinya untuk berbicara denganku---entahlah.

Aku menuju dapur dan Ibu sedang memasak. Satu hal yang membuatku berdecak kagum dari Ibu, meski lelah, dia menginginkan makanan sehat dari tangannya, selain karena malam hari, satu keluarga bisa bertemu di meja makan. 

Saat makan bersama, biasanya Ayah atau Ibu akan memulai pembicaraan. Kecuali aku, Emily dan Katty ikut berebut menimpali obrolan mereka. Kadang-kadang perdebatan terjadi sehingga timbul keributan-keributan kecil. Jika sudah terlalu bising, aku cukup mendengarkan saja dan sibuk mengunyah makananku. Mereka pun sepertinya tidak menuntutku untuk ikut mengeluarkan suara. 

"Ibu, boleh aku bicara sebentar."

"Ibu sedang terburu-buru menyiapkan makan malam, Suzan. Sekarang hampir mendekati pukul tujuh, seharusnya semua sudah selesai."

"Kalau begitu, biar aku membantu Ibu sambil cerita banyak hal, boleh?"

"Kalau mau membantu Ibu, keluarlah dulu dari dapur, Ibu akan selesaikan ini sendiri." 

Karena Ibu menganggap kehadiranku sebagai gangguan, aku berdiam diri dan memasang wajah kecewa. 

"Aduh, Sayang, dengarkan Ibu. Ibu tidak bermaksud membuatmu sedih, tapi Ibu baru saja mengalami hari yang sangat panjang dan melelahkan di kantor. Kita akan bicara nanti, ya."

Kurasa Ibu benar-benar tidak memiliki waktu luang lagi untukku. Bekerja sejak pagi hingga malam, tubuhnya pasti terlanjur lelah. Seharusnya aku tidak membebaninya lagi dengan apa yang ingin kubicarakan.

Selanjutnya, aku mencari Katty. Aku tidak tahu, apakah Katty bisa kujadikan teman bicara atau tidak. Selama ini, aku belum sekalipun berbicara lama dengannya. Dia selalu asyik dengan dirinya sendiri. Seperti malam ini, dia sedang duduk bermain ponselnya ketika aku membuka kamarnya.

"Bisakah kau tidak mengejutkanku, Idiot? Kau membuatku kalah di permainan ini!" 

"Mengapa kau selalu marah?" 

"Karena kau tidak menyenangkan sepanjang hari."

"Oke. Jika ada yang membuatmu marah sepanjang hari, kau bisa bicara denganku."

"Tidak, tidak akan. Aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Karena kau idiot dan aku tidak berbicara dengan orang idiot sepertimu. Sebaiknya kau jangan menggangguku."

Katty berdiri dan mengempaskan ponselnya ke kasur, lalu mendorong tubuhku keluar dari kamarnya. Beginilah, kami memang seperti telah ditakdirkan untuk tidak pernah bisa berbicara baik-baik satu sama lain. 

Mungkin harapanku adalah Emily. Dia menyambutku dengan baik ketika kukatakan ingin berbicara dengannya sebentar saja. Seharusnya aku menemuinya lebih awal. 

"Apa yang terjadi denganmu, Adikku?"

Baru saja aku hendak mengatakan bahwa akhir-akhir ini pikiranku tidak tenang, bahwa aku sedang tidak baik-baik saja, tiba-tiba ponselnya berdering. Kupikir, Emily akan mengabaikannya, ternyata tidak. Dia mengangkat teleponnya.

"Hai! Oh, Tuhan, benarkah? Ayo ceritakan kepadaku sekarang, semuanya. Serius, aku ingin mendengarkan semua darimu."

Percakapan Emily terjeda. Sambil menangkup lubang suara di ponselnya dengan tangan, dia mengalihkan perhatiannya kepadaku.

"Suzan, nanti saja kita bicara, oke! Aku mendapat berita penting dari temanku."

Aku membuang napas. Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, di rumah ini, semua orang sepertinya menganggapku sebagai anggota keluarga yang tidak penting. 

Apakah aku memang tidak penting? Aku memikirkan semuanya di kamarku, sendiri. Ini bukan tentang menyalahkan siapa pun karena memang bukan kesalahan siapa-siapa. Akulah yang terjebak ke dalam segala hal yang salah, bahkan suara-suara di dalam kepalaku mengatakannya. Kata-kata itu bergemuruh dan terdengar seperti umpatan-umpatan kasar sehingga aku lupa tentang siapa yang seharusnya melindungi diriku. 

"Kau memang anak bodoh, Suzan. Semua orang tidak memedulikanmu, di rumah, di sekolah, di mana pun. Sekali lagi tidak ada yang memperhatikanmu. Tidak juga keluargamu, tidak juga temanmu. Sekarang kau gelisah, mengapa teman-temanmu ingin berteman denganmu? Itu hanya karena kau mau menuruti permintaan mereka. Mereka hanya ingin memperalat kebodohanmu, tentu saja. Dan Grey, dia tidak benar-benar menyukaimu. Dia pun hanya ingin kau mengerjakan semua tugasnya. Jika kau merasa dia menyukaimu dan peduli denganmu, itu bohong sama sekali. Bagaimana bisa orang yang peduli denganmu tega merampas kehormatanmu dan kau diam saja ketika dia melakukannya? Sungguh, itu perbuatan payah dan kau benar-benar tolol, bodoh, idiot, bahkan lebih dari itu. Lihatlah, kau menghancurkan dirimu sendiri. Tidak ada yang memikirkanmu, Grey sekalipun. Apakah kau pikir setelah bicara semuanya, kau akan terbebas dari noda kotor dan tanggung jawab? Oh, tidak. kau hanya akan menjadi aib. Semua tidak akan memercayaimu lagi. Kau hanya akan mendapatkan kemarahan besar dan itu pantas untuk kau terima. Jadi, mengapa masih di sini?"

Ya, mengapa aku masih di sini? Seharusnya aku sudah tidak di sini lagi. Baiklah, aku sepertinya harus bersiap-siap untuk tidak di sini lagi. 

Sakit hanya sementara, tapi keputusan yang aku buat adalah final. Tidak ada kesempatan kedua atau pengulangan untuk mengambil kembali kehidupan. Penyelamat terakhirku adalah butiran-butiran pil penenang. Aku ingin tenang, itu saja.

Jantungku berdegup kencang. Suhu udara terasa panas sehingga berkali-kali tanganku mengibas-ngibaskan baju untuk mendinginkan badanku yang mulai basah. Keringat bercucuran tidak henti-hentinya dan napasku dibuat tersengal-sengal. 

Aku hanya menangis dan meringkuk menahan sakit. Tenagaku sudah tidak mampu untuk berteriak meminta bantuan karena tubuhku sudah tidak sanggup berdiri. Perutku makin melilit dan tiba-tiba cairan berbau keluar dari mulutku. Aku meronta-ronta dalam kesakitan yang teramat dahsyat tanpa pertolongan siapa pun. Sementara dari luar sana, suara Ibu memanggil-manggilku.

"Suzan, makan malam sudah siap, keluarlah!"

Aku sudah tidak ingin makan dan tidak ingin apa-apa lagi, kecuali rasa sakitku segera berakhir. 

Tiba-tiba, samar kulihat Ibu berada di dekatku. Dia memelukku, menepuk-nepuk pipiku, dan menggoncang-goncang tubuhku. Tiga orang lainnya yang kukenal berada di belakangnya. Mimik wajah mereka semua aneh, seperti  menangis histeris.

"Suzaaan, ayo kita bicara! Suzaaan, banguuun!"

Terlambat. Seketika tubuhku melayang ringan.

--- 

Shyants Eleftheria, Life is a Journey

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun