"Ini bukan hanya tentang itu, Ayah."
"Baiklah, tentang apa? Tapi, tunggu! Ayah baru mendapat notifikasi email. Oh, Tuhan! Ayah baru sadar kalau malam ini tenggat waktu menyelesaikan pekerjaan Ayah. Sayang, Ayah janji, kita akan bicara nanti."
Jika sudah begitu, aku tidak ingin mengganggu Ayah lagi. Namun, aku juga tidak yakin apakah satu jam ke depan Ayah akan menepati janjinya untuk berbicara denganku---entahlah.
Aku menuju dapur dan Ibu sedang memasak. Satu hal yang membuatku berdecak kagum dari Ibu, meski lelah, dia menginginkan makanan sehat dari tangannya, selain karena malam hari, satu keluarga bisa bertemu di meja makan.Â
Saat makan bersama, biasanya Ayah atau Ibu akan memulai pembicaraan. Kecuali aku, Emily dan Katty ikut berebut menimpali obrolan mereka. Kadang-kadang perdebatan terjadi sehingga timbul keributan-keributan kecil. Jika sudah terlalu bising, aku cukup mendengarkan saja dan sibuk mengunyah makananku. Mereka pun sepertinya tidak menuntutku untuk ikut mengeluarkan suara.Â
"Ibu, boleh aku bicara sebentar."
"Ibu sedang terburu-buru menyiapkan makan malam, Suzan. Sekarang hampir mendekati pukul tujuh, seharusnya semua sudah selesai."
"Kalau begitu, biar aku membantu Ibu sambil cerita banyak hal, boleh?"
"Kalau mau membantu Ibu, keluarlah dulu dari dapur, Ibu akan selesaikan ini sendiri."Â
Karena Ibu menganggap kehadiranku sebagai gangguan, aku berdiam diri dan memasang wajah kecewa.Â
"Aduh, Sayang, dengarkan Ibu. Ibu tidak bermaksud membuatmu sedih, tapi Ibu baru saja mengalami hari yang sangat panjang dan melelahkan di kantor. Kita akan bicara nanti, ya."