"Apa yang terjadi denganmu, Adikku?"
Baru saja aku hendak mengatakan bahwa akhir-akhir ini pikiranku tidak tenang, bahwa aku sedang tidak baik-baik saja, tiba-tiba ponselnya berdering. Kupikir, Emily akan mengabaikannya, ternyata tidak. Dia mengangkat teleponnya.
"Hai! Oh, Tuhan, benarkah? Ayo ceritakan kepadaku sekarang, semuanya. Serius, aku ingin mendengarkan semua darimu."
Percakapan Emily terjeda. Sambil menangkup lubang suara di ponselnya dengan tangan, dia mengalihkan perhatiannya kepadaku.
"Suzan, nanti saja kita bicara, oke! Aku mendapat berita penting dari temanku."
Aku membuang napas. Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, di rumah ini, semua orang sepertinya menganggapku sebagai anggota keluarga yang tidak penting.Â
Apakah aku memang tidak penting? Aku memikirkan semuanya di kamarku, sendiri. Ini bukan tentang menyalahkan siapa pun karena memang bukan kesalahan siapa-siapa. Akulah yang terjebak ke dalam segala hal yang salah, bahkan suara-suara di dalam kepalaku mengatakannya. Kata-kata itu bergemuruh dan terdengar seperti umpatan-umpatan kasar sehingga aku lupa tentang siapa yang seharusnya melindungi diriku.Â
"Kau memang anak bodoh, Suzan. Semua orang tidak memedulikanmu, di rumah, di sekolah, di mana pun. Sekali lagi tidak ada yang memperhatikanmu. Tidak juga keluargamu, tidak juga temanmu. Sekarang kau gelisah, mengapa teman-temanmu ingin berteman denganmu? Itu hanya karena kau mau menuruti permintaan mereka. Mereka hanya ingin memperalat kebodohanmu, tentu saja. Dan Grey, dia tidak benar-benar menyukaimu. Dia pun hanya ingin kau mengerjakan semua tugasnya. Jika kau merasa dia menyukaimu dan peduli denganmu, itu bohong sama sekali. Bagaimana bisa orang yang peduli denganmu tega merampas kehormatanmu dan kau diam saja ketika dia melakukannya? Sungguh, itu perbuatan payah dan kau benar-benar tolol, bodoh, idiot, bahkan lebih dari itu. Lihatlah, kau menghancurkan dirimu sendiri. Tidak ada yang memikirkanmu, Grey sekalipun. Apakah kau pikir setelah bicara semuanya, kau akan terbebas dari noda kotor dan tanggung jawab? Oh, tidak. kau hanya akan menjadi aib. Semua tidak akan memercayaimu lagi. Kau hanya akan mendapatkan kemarahan besar dan itu pantas untuk kau terima. Jadi, mengapa masih di sini?"
Ya, mengapa aku masih di sini? Seharusnya aku sudah tidak di sini lagi. Baiklah, aku sepertinya harus bersiap-siap untuk tidak di sini lagi.Â
Sakit hanya sementara, tapi keputusan yang aku buat adalah final. Tidak ada kesempatan kedua atau pengulangan untuk mengambil kembali kehidupan. Penyelamat terakhirku adalah butiran-butiran pil penenang. Aku ingin tenang, itu saja.
Jantungku berdegup kencang. Suhu udara terasa panas sehingga berkali-kali tanganku mengibas-ngibaskan baju untuk mendinginkan badanku yang mulai basah. Keringat bercucuran tidak henti-hentinya dan napasku dibuat tersengal-sengal.Â