Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Antara Cinta dan Khianat

27 Maret 2023   09:56 Diperbarui: 4 April 2023   20:17 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kebersamaan antara cinta dan khianat| by pixabay

Suzan meletakkan gelas di bawah lampu tidur yang masih menyala usai meneguk seperempat air di dalamnya. Kemudian, pinggul rampingnya turun secara perlahan-lahan di atas kasur, membelakangiku. Dua kali dia memutar-mutarkan kepalanya, layaknya gerakan melemaskan ketegangan otot leher, dan setelahnya, dengan rambut tergelung yang memperlihatkan keseksian leher jenjang dan mulus, perempuanku itu diam menunduk dalam tarikan napas panjang dan embusan satu kali, seperti sedang menyimpan sesuatu yang berat.

Aku yang memperhatikannya sambil memegang "The Book of Imaginary Beliefs" dengan posisi bersandar pada bantal tertegak di belakang punggungku, bertanya kepadanya, "Seburuk itukah harimu?"

Dia menoleh.

"Apanya?"

"Pekerjaanmu."

"Tidak juga. Aku hanya letih."

Dia menghela napas dan aku memakluminya. Sebagai eksekutif pemasaran di perusahaan properti, pekerjaannya sedemikian sibuk sehingga kuanggap lelahnya sebagai suatu yang wajar.

Maka akulah yang bercerita bahwa tadi sore, sepulang bekerja, aku telah melihat-lihat wallpaper di toko seputaran mal. Seminggu yang lalu dia memang meminta pertimbanganku atas keinginannya mengganti suasana kamar tidur dengan yang baru. Konsep klasik putih elegan, yang sejak lima tahun menempel di dinding kamar kami, terlalu minimalis, katanya, dan dia bosan.  

"Bagaimana dengan brick biru. Motif dan warnanya bisa menumbuhkan kesan hangat, sekaligus nyaman. Kita butuh ketenangan untuk istirahat, bukan?"

Beberapa motif wallpaper sudah kusimpan gambarnya di galeri ponselku dan aku memperlihatkan desain yang kupilih, "Aku sudah memesannya, kamu suka?"

"Ya ... bagus juga, meskipun aku sekarang lebih suka rustic abu-abu."

"Oh, ya? Kita bisa menukarnya."

"Tidak usah, tidak apa-apa."

Pilihan selera kami mungkin terasa kecil dan tidak sebagai sesuatu yang penting, tetapi bisa saja itu terpicu menjadi masalah besar. Maka aku meyakinkannya lagi.

"Suzan, kamu baik-baik saja, kan?"

"Ya, aku baik-baik saja, Mas. Sudahlah, Aku tidak mempermasalahkannya. Ayo tidur, sudah larut."

"O---ya, baiklah, kamu tidur saja. Aku masih ingin membaca."

Suzan melepaskan gelungannya sehingga rambut ikal tipisnya terurai panjang--- salah satunya itu yang membuatnya memesona dan aku suka melihatnya. Sebelum merebahkan diri, dia mematikan lampu tidur di sebelah kirinya.

Tiba-tiba dia bangun, lalu duduk dan menyalakan lampu tidur kembali.

"Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu, Mas," katanya.

Aku menutup buku dan memandangnya. Dugaanku tepat, dia benar-benar seperti orang yang gelisah dan aku menangkapnya demikian.

"Tentang apa?"

"Setiap hari aku seolah-olah menghadapi halaman kosong. Ketika bangun di pagi hari, aku seperti dihadapkan pada keputusan untuk memilih."

"Apa yang membuatmu begitu?"

"Aku---oh, aku tidak tahu mengapa ini terjadi."

"Ada apa, katakan saja."

"A---aku berkencan dengan orang lain."

Berkencan? Dia mengatakan "berkencan" meski seperti ragu-ragu. Pendengaranku seakan-akan terkelabui oleh sesuatu yang mencengangkan. Namun, aku tidak bereaksi apa pun karena memang kupikir, aku tidak harus bereaksi apa-apa dulu---itu terlalu naif. Lagipula, dia baru memberikan informasi mentah. Jadi, kubiarkan saja dia bercerita sejauh yang dia ingin katakan.

Dalam pikiranku, bisa jadi berkencan itu hanya bertemu teman karib dan menghabiskan waktu untuk sekadar mengobrol, makan, menonton film, dalam satu atau beberapa hari, mungkin, begitulah. Apakah itu sedemikian mengancam?

"Aku pikir itu akan berakhir, tapi kemudian terus dan terjadi lagi dan lagi."

Kali ini aku mulai menangkap maksudnya, dia serius, tetapi aku masih ingin mendengar secara sempurna apa yang terjadi. Aku mengerti karena barangkali menyampaikan apa yang ada di kepala lebih baik dibandingkan menyimpannya, terutama kepada orang terkasih, terutama kepada orang yang dipercaya, itu perlu, meskipun melukai perasaan atau hati orang lain atau diri sendiri.

"Kamu tahu bahwa aku benar-benar mencintaimu, kan, Mas? Ya, maksudku, aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Aku tidak mencintainya, maksudku lagi, itu bukan cinta yang sama denganmu. Tapi, entahlah, aku tidak pernah memastikan semua ini akan datang."

"Apa yang datang?"

Aku mulai terpancing dengan kata-katanya.

"Aku tahu semuanya telah jauh dan aku hanya merasa sangat kosong setiap kalinya. Jujur, kamu yang bisa membuatku lebih bahagia, Mas. Tapi apakah aku selalu membuat kamu bahagia? Kamu pasti tidak memperhatikan semuanya setelah beberapa tahun kita hidup bersama."

Aku menelisik waktu ke belakang tentang bagaimana perasaan kami yang berapi-api saat awal-awal berjumpa, saat belum ada ikatan, saat belum sama-sama menyatakan perasaan. Setelahnya, sebenarnya biasa saja. Segalanya kemudian berjalan tidak ada ragamnya, kadang-kadang. Maka lama-lama kami rindu kembali sebagai pribadi yang mandiri, rindu dengan melayani diri sendiri, rindu saat terbangun sendiri, karena pasangan pun mengalami hal yang sama, yaitu kebosanan. Mungkin inilah yang sedang menjalar di antara kami, aku dan Suzan.

"Mas Haris, tolong, katakan sesuatu."

"Apa yang harus aku katakan?"

Aku hendak beranjak dan kupikir tidak perlu jauh mendengarkannya lagi. Entah apa yang menjadi gagasannya untuk mengemukakan fakta tersembunyi itu, tetapi aku masih bisa meredam emosional. Bisa saja dia menilaiku sebagai suami penipu hati dengan bersikap positif dan tidak seperti orang yang cemburu.

Gerakan tangannya lebih cepat menangkap tanganku yang menyebabkanku berhenti bergerak. Namun, aku mulai berpikir. Apakah berkencan menurutnya adalah hal yang menakjubkan atau bagian dari konflik hubungan kami yang sudah mulai terkikis kegairahannya? Jika ya, mau tidak mau aku juga perlu mengetahui hubungannya dengan seseorang yang dimaksud.

"Siapa dia?"

"Siapa?"

"Tentu saja laki-laki itu. Aku ingin tahu tentang dia."

"Itu tidak penting, Mas."

"Katakan saja!"

"Grey. Dia kolegaku dari perusahaan lain."

"Berapa umurnya?"

"Tiga puluh enam tahun."

"Wow, dia lebih muda dariku. Aku ingin melihat fotonya."

"Mengapa kamu harus melihat fotonya?"

"Karena hanya itulah yang paling pantas aku lihat."

Dia mengambil ponselnya, memperlihatkan foto laki-laki itu, dan setelah melihatnya, aku melemparkan ponselnya ke tempat tidur. Aku menggeleng-geleng, kecewa---dan hal yang sangat menyedihkan, aku bahkan tidak bisa melihat bahwa banyak hal telah berubah darinya.

"Berapa lama hubungan kalian?"

"Sejak selesai acara gathering perusahaan di hotel, seminggu setelah tahun baru. Kamu ingat ketika aku harus pergi selama beberapa hari dan kamu tidak keberatan untuk tinggal sendirian di rumah? Saat itu ... aku bersamanya."

"Astaga! Apakah kamu akan mengatakan sudah tidur dengannya juga?"

"Kamu tidak harus bertanya tentang itu, Mas"

"Katakan saja kepadaku apa yang kalian lakukan, Suzan!"

"Di acara itu, Grey datang dan mengatakan kepadaku bahwa dia terkesan dengan keterampilan presentasiku."

Aku mengangguk-angguk. "Kemudian?"

"Kemudian kami mengobrol sepanjang malam. Kami---" 

"Berciuman?'

"Tidak. Maksudku, tidak di acara itu."

"Di rumahnya?"

"Bukan. Kami kembali ke kamar hotel."

"Sial!"

"Keesokan harinya, aku memberitahukannya bahwa itu tidak akan terjadi lagi, tapi kemudian kami bertemu lagi. Dan sepertinya, aku tidak dapat menahan diri. Aku tahu aku salah, Mas."

Aku tidak bisa memahami sikapnya tentang memilih kesalahan mana yang harus dihindari. Bahkan, dia seperti menciptakan kondisi untuk benar-benar menjadi hak miliknya dengan tidak mempertimbangkan apa dan siapa yang semestinya harus diabaikan.

"Jadi, kamu memberitahuku sekarang, setelah tujuh bulan kemudian?"

"Karena aku pikir semua akan berakhir."

"Sekarang, kamu akan mengakhirinya?"

"Aku tidak tahu."

"Kamu tidak tahu?"

"Tidak, maksudku, aku tidak ingin ini berakhir."

Apa? Oh, Tuhan! Aku merebahkan badan sambil melipatkan kedua tangan.

"Dan kalian melakukan kemesraan sepanjang waktu?"

Dia menangis dan berteriak. "Aku tidak peduli, oke! Anggap saja aku tidak peduli apa-apa! Dengar Mas, apakah kamu ingin aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja dengan hubungan intim di antara kita? Ini sudah lama dan kamu tidak tahu bahwa aku sudah ingin memberitahumu selama berbulan-bulan lalu."

Aku terdiam, merenung untuk hal yang tidak dapat aku mengerti. Ini terjadi dan aku tahu itu salah. Apakah aku tidak memberinya hak untuk kami melakukan percumbuan seperti yang telah mereka lakukan?

Meski sakit karena ternodanya pernikahan kami, karena cinta yang berkhianat, seharusnya aku memikirkannya juga. Dia mungkin yang paling tersiksa dengan perasaannya sendiri. Selama ini aku mungkin kehilangan kepekaan terhadapnya.

Dia lantas membaringkan tubuhnya dengan empasan kasar memunggungiku. Aku mendekatinya dan mengelus-elus badannya dari balik selimut yang menutupinya. Suara isakan lirih menelusup telingaku.

"Suzan, bagaimana jika aku memaafkanmu? Ya, aku memaafkanmu."

Aku mendengar tarikan napas panjang. "Aku---aku tidak berpikir kamu bisa memaafkanku, Mas. Itu tidak memperbaiki apa pun. Dan kamu, Mas, kamu akan menjadi Haris yang sama setiap harinya. Aku tahu kamu lebih baik dari siapa pun. Tapi sejak kita berpacaran, kita bahkan tidak pernah memiliki kesempatan untuk bersama-sama orang lain yang kamu kenal. Kamu sangat membatasinya untukku dan untukmu sendiri."

"Itu tidak menjadi permasalahan, bukan?"

"Ini yang aku maksud, aku tidak ingin kamu menutup hidup kita. Bagaimana bisa kamu hidup dalam kebosanan, Mas? Sekarang, nyatanya, semua tidak baik-baik saja."

Aku memeluknya. Aku mengatakan kepadanya tentang apa yang terpenting yang telah kami capai. Kami telah melunasi hutang, membeli rumah, dan memiliki pekerjaan yang bagus. Kami bahkan melupakan tentang bagaimana harus memiliki keturunan dan apakah kami terus berusaha melakukannya---aku dan dia pun bahkan tidak perlu memutuskan tentang itu. Kami hanya perlu berbicara tentang perasaan masing-masing secara terbuka dan memastikan tidak ada yang harus disembunyikan.

"Kita bisa mencobanya lagi. Kita belum tahu jika tidak mencoba."

"Aku tahu."

"Tahu apa?"

"Aku tahu mengapa aku menginginkan suasana baru di kamar ini. Itu karena aku telah jatuh cinta dengan Grey."

Aku melepaskan pelukanku, lalu duduk membisu beberapa jenak. Satu-satunya yang menenangkanku adalah "The Book of Imaginary Beliefs". Aku mengambilnya dan membuka lembaran yang terlipat. Buku ini memberiku semacam pemikiran bahwa berpura-pura tersenyum bisa menyembuhkan rasa sakit orang lain. Ini akan terus bergerak maju karena kembali tidak pernah menjadi pilihan. Seseorang yang berharga bisa jadi merupakan sampah orang lain, minat seseorang adalah kebosanan orang lain, prinsip seseorang adalah pelanggaran orang lain, dan kepuasan seseorang adalah tekanan batin orang lain.

Aku hanya berusaha untuk lebih dewasa dalam menyikapi berbagai hal dan tentunya untuk membantuku mendefinisikan ulang makna kebahagiaan serta menciptakan kebahagiaan yang masing-masing kami inginkan.

Selanjutnya, pikiranku sudah tidak mampu menampung semua hal yang tidak bisa lagi kuartikan dari barisan kalimat-kalimat yang kubaca. Apa yang terjadi besok, entahlah. Aku hanya ingin mematikan lampu dan tidur.

---

-Shyants Eleftheria, Life is a Journey-

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun