"Tentang apa?"
"Setiap hari aku seolah-olah menghadapi halaman kosong. Ketika bangun di pagi hari, aku seperti dihadapkan pada keputusan untuk memilih."
"Apa yang membuatmu begitu?"
"Aku---oh, aku tidak tahu mengapa ini terjadi."
"Ada apa, katakan saja."
"A---aku berkencan dengan orang lain."
Berkencan? Dia mengatakan "berkencan" meski seperti ragu-ragu. Pendengaranku seakan-akan terkelabui oleh sesuatu yang mencengangkan. Namun, aku tidak bereaksi apa pun karena memang kupikir, aku tidak harus bereaksi apa-apa dulu---itu terlalu naif. Lagipula, dia baru memberikan informasi mentah. Jadi, kubiarkan saja dia bercerita sejauh yang dia ingin katakan.
Dalam pikiranku, bisa jadi berkencan itu hanya bertemu teman karib dan menghabiskan waktu untuk sekadar mengobrol, makan, menonton film, dalam satu atau beberapa hari, mungkin, begitulah. Apakah itu sedemikian mengancam?
"Aku pikir itu akan berakhir, tapi kemudian terus dan terjadi lagi dan lagi."
Kali ini aku mulai menangkap maksudnya, dia serius, tetapi aku masih ingin mendengar secara sempurna apa yang terjadi. Aku mengerti karena barangkali menyampaikan apa yang ada di kepala lebih baik dibandingkan menyimpannya, terutama kepada orang terkasih, terutama kepada orang yang dipercaya, itu perlu, meskipun melukai perasaan atau hati orang lain atau diri sendiri.
"Kamu tahu bahwa aku benar-benar mencintaimu, kan, Mas? Ya, maksudku, aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Aku tidak mencintainya, maksudku lagi, itu bukan cinta yang sama denganmu. Tapi, entahlah, aku tidak pernah memastikan semua ini akan datang."