Aku terdiam, merenung untuk hal yang tidak dapat aku mengerti. Ini terjadi dan aku tahu itu salah. Apakah aku tidak memberinya hak untuk kami melakukan percumbuan seperti yang telah mereka lakukan?
Meski sakit karena ternodanya pernikahan kami, karena cinta yang berkhianat, seharusnya aku memikirkannya juga. Dia mungkin yang paling tersiksa dengan perasaannya sendiri. Selama ini aku mungkin kehilangan kepekaan terhadapnya.
Dia lantas membaringkan tubuhnya dengan empasan kasar memunggungiku. Aku mendekatinya dan mengelus-elus badannya dari balik selimut yang menutupinya. Suara isakan lirih menelusup telingaku.
"Suzan, bagaimana jika aku memaafkanmu? Ya, aku memaafkanmu."
Aku mendengar tarikan napas panjang. "Aku---aku tidak berpikir kamu bisa memaafkanku, Mas. Itu tidak memperbaiki apa pun. Dan kamu, Mas, kamu akan menjadi Haris yang sama setiap harinya. Aku tahu kamu lebih baik dari siapa pun. Tapi sejak kita berpacaran, kita bahkan tidak pernah memiliki kesempatan untuk bersama-sama orang lain yang kamu kenal. Kamu sangat membatasinya untukku dan untukmu sendiri."
"Itu tidak menjadi permasalahan, bukan?"
"Ini yang aku maksud, aku tidak ingin kamu menutup hidup kita. Bagaimana bisa kamu hidup dalam kebosanan, Mas? Sekarang, nyatanya, semua tidak baik-baik saja."
Aku memeluknya. Aku mengatakan kepadanya tentang apa yang terpenting yang telah kami capai. Kami telah melunasi hutang, membeli rumah, dan memiliki pekerjaan yang bagus. Kami bahkan melupakan tentang bagaimana harus memiliki keturunan dan apakah kami terus berusaha melakukannya---aku dan dia pun bahkan tidak perlu memutuskan tentang itu. Kami hanya perlu berbicara tentang perasaan masing-masing secara terbuka dan memastikan tidak ada yang harus disembunyikan.
"Kita bisa mencobanya lagi. Kita belum tahu jika tidak mencoba."
"Aku tahu."
"Tahu apa?"