Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Aku Memilih Hidup Menepi

21 Januari 2023   13:49 Diperbarui: 27 Januari 2023   18:56 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah di lembah pegunungan|by pixabay

Aku ingin berbagi sudut kecil duniaku dengan sekumpulan kecil manusia dan flora yang melimpah. Sekarang, aku ada di kota yang tenang di lembah yang sepi. Tidak banyak yang terjadi di sini. Aku pun jarang bepergian jauh dari rumah singgahku ini karena sebagian besar waktu sehari-hari kuhabiskan untuk menikmati momen-momen kecil dengan beragam hobi: Membaca buku-buku inspirasi, menulis ide-ide random di kepala, mencoba menu-menu masakan baru, menyanyikan lagu-lagu yang kusuka, menari-nari dengan alunan musik klasik dari compac disk kuno, atau menonton koleksi film romansa asing. Semuanya merupakan bagian terapiku untuk menjauhi hiruk pikuk dunia dan hidup secara berbeda, meskipun aku tidak tahu untuk berapa lama ke depan.

Walaupun hari-hari terkadang terasa biasa saja, tetapi aku suka memperhatikan keindahan alam yang damai di sekelilingku dan merasa nyaman dalam kesederhanaannya.

Aku memilih menepi, menghapus pemikiran tentang perbandingan, tentang hidup yang masih saja terasa kurang---ini merupakan kecenderungan yang dimiliki semua orang. Dan dalam pikiranku, mengapa hidupku masih merasa getir setelah bisa bekerja keras dan telah mencapai hampir semua yang aku inginkan?

Aku ingat ketika berurusan dengan penyakit kanker, tiba-tiba aku menjadi sangat sadar betapa bebasnya orang lain, lalu meromantisasi kemampuan mereka untuk hidup begitu mudah dan gembira dalam tubuh mereka sendiri. Sebaliknya, aku merasa hampir tidak bisa hidup dengan tubuhku. Aku sangat ingin memiliki kedamaian batin seperti orang-orang yang kurasa lebih bahagia dariku---dan itu sangat tidak adil.

Aku tidak menginginkan sehatnya hidup orang lain, tidak juga. Aku memutuskan untuk tidak menginginkan kebahagiaan yang tadinya aku yakini mereka miliki. Banyak dari perasaan ini, ketika dibongkar, mengungkapkan begitu banyak kebahagiaan tentang diriku.

Seperti ketika Alena, temanku sejak remaja, meneleponku. Tujuannya meminta beberapa koleksi swafotoku karena katanya, dia suka melihat wajahku yang selalu tampak cantik alami, berbeda dengan wajah kebanyakan perempuan lain. Aku hanya tertawa kecil mendengar dia mengatakan demikian. Sejatinya, aku tahu dia membutuhkan pujian tentang wajahnya yang menurutku juga cantik.

"Aku tidak menyukai wajahku, bibirku, mataku, rambutku, Suzan, " katanya.

Baca juga: Membeli Kebahagiaan

"Terus, kamu mau melakukan apa?"

"Aku hanya ingin tampil beda."

"Maksudmu?"

"Aku menginginkan tubuh baru."

"Alena, berhenti berpikir seperti itu."

Dari percakapan itulah, aku benar-benar mengerti. Aku tidak memikirkan tentang kenaifan cara Alena berpikir, tetapi yang menarik perhatianku, seorang perempuan yang kunilai sempurna dengan tubuhnya, justru mengalami tekanan atas ketidakpercayaan dirinya yang menimbulkan ketidakberdayaan. 

Aku marah kepada Alena, hingga akhirnya dia berbicara tentang kekalahannya menarik perhatian seorang pria yang dia sukai. Alena begitu terisak-isak dan berkata bahwa dia menyadari tidak benar-benar ingin mengubah wajahnya, tetapi hanya menginginkan perasaan cinta untuk dirinya ketika bercermin setelah bertahun-tahun tidak memiliki kekasih. Aku mengerti kegundahannya, tetapi menyayangkan sikapnya. Maka, kukatakan kepada Alena, jika dia lebih mementingkan nilai atau harga diri, aku berani bertaruh, suatu saat, entah dalam waktu cepat atau lambat, dia bisa memenangkan laki-laki itu.

Begitulah, aku berbicara tentang persaingan mengejar sesuatu di luar untuk merasa damai dengan diri sendiri. Siklus seperti itu tidak pernah berakhir. Mengenai nilai seseorang, aku jadi teringat kasusku sebagai orang yang kompetitif, saat menjadi mahasiswa.

Dulu, aku menghabiskan waktu empat tahun setengah untuk mencoba menjadi sarjana terbaik yang aku bisa, lulus, hanya untuk menjadi seseorang dengan gelar bergengsi. Setelah akhirnya mencapai tujuan yang kupikir akan mengubah segalanya, aku menyadari bahwa sekarang aku tidak harus mengejar apa pun lagi. Satu-satunya yang ingin aku jalani, menghabiskan sisa hidupku dengan menaiki tangga hingga akhir. Itu adalah pilihanku ketika akan berkata, "Aku puas dengan hidupku sekarang."

Prayaga mempertanyakan konsep kepuasan hidupku itu.

"Itu bukan pernyataan menyerah, kan?"

"Tentu saja bukan. Aku hanya ingin berdamai dengan diriku sendiri saja."

"Aku senang kamu bisa lebih tenang sekarang, Suzan."

Aku tersenyum dan kukatakan kepadanya bahwa dialah yang membuat aku lebih baik.

"Kamu akan lebih baik lagi jika bersedia menjadi istriku."

Oh, Tuhan. Aku tidak ingin menyangkal tentang banyaknya anugerah yang kudapatkan dalam hidup, tetapi tidak dengan hubungan percintaanku. Entah mengapa, sekian kali aku gagal, aku tetap tidak mau menerima kebahagiaan satu ini. Bukannya mengingkari rasa bersyukur karena dicintai laki-laki yang berperan besar dalam perubahan hidupku, melainkan aku hanya ingin menghindari kufur yang bisa menimbulkan ketidaktenangan terhadap bayang-bayang rangkaian hubungan beracun ke depan. Itu yang membuat aku tidak siap menikah dengannya, meski aku mencintainya. 

"Kamu masih tidak yakin dengan ketulusanku?"

"Kamu mau hidup dalam ketidaksempurnaanku sebagai perempuan?" kalimat itu seolah-olah menjadi senjataku untuk membuatnya melepaskanku.  

Penerawanganku seakan-akan mampu menembus kepastian masa depan bahwa Prayaga tidak akan mampu bertahan dengan kekuranganku, yang tentu saja tidak akan membuatnya bahagia kelak. Aku menyadari pola ini, aku membidik kehati-hatiannya yang bisa saja menjadi kecewa ketika pada akhirnya tidak seperti yang diharapkan. Perihal penerus, yang tidak akan pernah dapat kuberikan, aku memintanya untuk memikirkan ulang tentang rencana pernikahan kami. Sangat menakutkan untuk menyadari bahwa aku tidak memiliki kekuatan untuk membentuk realitas yang mengharuskanku menghadapi konsekuensinya. Tidak, aku tidak ingin terjebak dalam keputusan yang salah. Maka aku sudah memiliki jawaban atas kegundahanku untuknya.

Saat bertemu dengannya kembali, aku melepaskan rantai perasaanku terhadapnya. Aku tidak ingin menjadi ancaman untuknya, demikian juga sebaliknya.

"Jika kamu meninggalkanku, itu membuat aku bahagia, " kataku.

"Suzan. Aku ingin menjagamu."

"Aku tahu kamu hanya ingin menepati janjimu. Tapi, Prayaga. Dengarkan aku. Menjagaku tidak harus mengekang kebebasanku."

"Kenapa kamu berubah menjadi manusia bodoh sekarang?"

"Aku ingin menyelamatkan hidupmu, hidupku. Apa itu berarti bodoh?"

Prayaga tidak banyak bicara lagi, itu bagus. Aku tidak ingin banyaknya perdebatan konyol yang sia-sia dalam pertemuan kami yang terakhir, mungkin. Matanya berkaca-kaca dan itu kuanggap sebagai pelepasan rasanya yang mungkin selama ini juga terkekang. Aku tidak mau dia berdiri sebagai laki-laki yang menanggung rasa bersalah. Maka kuikhlaskan dia pergi, menemui seseorang yang kupastikan telah lama juga menunggunya di luar sana. Dia lalu memelukku, menciumku, dan itu semua kuanggap sebagai bentuk perhatiannya sebagai seorang humanis, tidak lebih. Biarkan kenangan manis tetap menjadi kenangan manis dalam album hidupku.

Air mataku tumpah. Namun aku yakinkan itu bukan untuk kesedihan, melainkan karena akhirnya aku mampu belajar untuk melepaskan, menerima, dan memahami siklus gerakan maju dan mundur yang perlahan membawaku ke tempat yang baik di lembah ini. Setelah berminggu-minggu, rongga dadaku seperti mengalami perluasan sehingga aku bisa menghirup udara segar pagi hari sebanyak-banyaknya.

Alena meneleponku, lagi dan lagi.

"Suzan, aku ingin mengenalkan kekasihku kepadamu."

"Hai, Alena. Apakah itu karena hasil dari operasimu?"

Suara tawa Alena terdengar di telingaku. Sudah lama aku tidak mendengar gelaknya. Kurasa, dia benar-benar dalam kebahagiaan yang membuncah dalam kemenangan setelah sekian lama terpuruk dalam kekalahan.

 "Benarkah kamu baik-baik saja, Suzan?"

"Ya, aku baik-baik saja."

"Jika ini sesuatu yang sangat menyakitkanmu, katakan saja."

"Dengar, Alena. Kita sudah membicarakan perihal ini, berkali-kali, berkali-kali. Kamu tidak perlu meragukan itikad baikku. Justru dengan akhir seperti ini, aku benar-benar merasa tidak terusik lagi."

"Suzan ...."

"Aku bahagia untukmu, Alena, untuk Prayaga, untuk kalian."

Hidup bisa berubah-ubah seperti itu. Kali ini, aku dapat melihat kebahagiaan orang lain yang sempurna dengan lebih terbuka. Seperti mereka, aku juga telah menemukan hidupku yang baru. Meski kepahitan kuterima dari penyakitku, aku pikir sayang sekali jika harus menghabiskan begitu banyak waktu dengan membandingkan sesuatu yang tidak aku miliki ketika justru seharusnya bisa mengambil inspirasi dari orang-orang dengan penyakit yang sama. Aku memilih menuntaskan hidupku di sini, di kota ini, di lembah ini.

--- 

-Shyants Eleftheria, Life is a Journey-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun