"Kamu akan lebih baik lagi jika bersedia menjadi istriku."
Oh, Tuhan. Aku tidak ingin menyangkal tentang banyaknya anugerah yang kudapatkan dalam hidup, tetapi tidak dengan hubungan percintaanku. Entah mengapa, sekian kali aku gagal, aku tetap tidak mau menerima kebahagiaan satu ini. Bukannya mengingkari rasa bersyukur karena dicintai laki-laki yang berperan besar dalam perubahan hidupku, melainkan aku hanya ingin menghindari kufur yang bisa menimbulkan ketidaktenangan terhadap bayang-bayang rangkaian hubungan beracun ke depan. Itu yang membuat aku tidak siap menikah dengannya, meski aku mencintainya.Â
"Kamu masih tidak yakin dengan ketulusanku?"
"Kamu mau hidup dalam ketidaksempurnaanku sebagai perempuan?" kalimat itu seolah-olah menjadi senjataku untuk membuatnya melepaskanku. Â
Penerawanganku seakan-akan mampu menembus kepastian masa depan bahwa Prayaga tidak akan mampu bertahan dengan kekuranganku, yang tentu saja tidak akan membuatnya bahagia kelak. Aku menyadari pola ini, aku membidik kehati-hatiannya yang bisa saja menjadi kecewa ketika pada akhirnya tidak seperti yang diharapkan. Perihal penerus, yang tidak akan pernah dapat kuberikan, aku memintanya untuk memikirkan ulang tentang rencana pernikahan kami. Sangat menakutkan untuk menyadari bahwa aku tidak memiliki kekuatan untuk membentuk realitas yang mengharuskanku menghadapi konsekuensinya. Tidak, aku tidak ingin terjebak dalam keputusan yang salah. Maka aku sudah memiliki jawaban atas kegundahanku untuknya.
Saat bertemu dengannya kembali, aku melepaskan rantai perasaanku terhadapnya. Aku tidak ingin menjadi ancaman untuknya, demikian juga sebaliknya.
"Jika kamu meninggalkanku, itu membuat aku bahagia, " kataku.
"Suzan. Aku ingin menjagamu."
"Aku tahu kamu hanya ingin menepati janjimu. Tapi, Prayaga. Dengarkan aku. Menjagaku tidak harus mengekang kebebasanku."
"Kenapa kamu berubah menjadi manusia bodoh sekarang?"
"Aku ingin menyelamatkan hidupmu, hidupku. Apa itu berarti bodoh?"