Prayaga tidak banyak bicara lagi, itu bagus. Aku tidak ingin banyaknya perdebatan konyol yang sia-sia dalam pertemuan kami yang terakhir, mungkin. Matanya berkaca-kaca dan itu kuanggap sebagai pelepasan rasanya yang mungkin selama ini juga terkekang. Aku tidak mau dia berdiri sebagai laki-laki yang menanggung rasa bersalah. Maka kuikhlaskan dia pergi, menemui seseorang yang kupastikan telah lama juga menunggunya di luar sana. Dia lalu memelukku, menciumku, dan itu semua kuanggap sebagai bentuk perhatiannya sebagai seorang humanis, tidak lebih. Biarkan kenangan manis tetap menjadi kenangan manis dalam album hidupku.
Air mataku tumpah. Namun aku yakinkan itu bukan untuk kesedihan, melainkan karena akhirnya aku mampu belajar untuk melepaskan, menerima, dan memahami siklus gerakan maju dan mundur yang perlahan membawaku ke tempat yang baik di lembah ini. Setelah berminggu-minggu, rongga dadaku seperti mengalami perluasan sehingga aku bisa menghirup udara segar pagi hari sebanyak-banyaknya.
Alena meneleponku, lagi dan lagi.
"Suzan, aku ingin mengenalkan kekasihku kepadamu."
"Hai, Alena. Apakah itu karena hasil dari operasimu?"
Suara tawa Alena terdengar di telingaku. Sudah lama aku tidak mendengar gelaknya. Kurasa, dia benar-benar dalam kebahagiaan yang membuncah dalam kemenangan setelah sekian lama terpuruk dalam kekalahan.
 "Benarkah kamu baik-baik saja, Suzan?"
"Ya, aku baik-baik saja."
"Jika ini sesuatu yang sangat menyakitkanmu, katakan saja."
"Dengar, Alena. Kita sudah membicarakan perihal ini, berkali-kali, berkali-kali. Kamu tidak perlu meragukan itikad baikku. Justru dengan akhir seperti ini, aku benar-benar merasa tidak terusik lagi."
"Suzan ...."