Tiba-tiba dinding di sekelilingnya mulai runtuh dan langit-langitnya terlempar ribuan kilometer jauhnya ke langit sampai menghilang seperti bintang jatuh. Kecoa yang merayap telah digantikan oleh pekikan burung, bau kotoran menjadi angin pantai yang menyegarkan dan kasur yang membusuk menjadi pasir halus yang lembut. Dia merasakan kehangatan matahari dan udara asin sedikit membantu pernapasannya. Di belakangnya dia melihat jejak kaki pasir pantai yang indah tidak bernoda, yang mengarah ke tanggul, dan seterusnya, dia melihat ke laut.
Napas Jono Haris yang menyakitkan menjadi lebih berat dan lebih pendek. Paru-parunya di penuhi nanah. Dia berbisik, "Ini ... bukan ... tempat ... yang ... aman ... untuku."
Namun kemudian, suara burung camar dan ombak laut lebih hidup sedemikian rupa sehingga ketakutan dan kekhawatirannya terlepas dari pudaknya dan menghilang. Nanah di paru-parunya mulai menghilang. Tidak ada misteri yang tersisa untuk dipecahkan, tidak ada yang perlu dipahami, tidak ada keluarga atau teman untuk diyakinkan, tidak ada catatan untuk disimpan, tidak ada ide untuk dipertahankan. Yang tersisa hanyalah keindahan laut di dunia yang tidak aman, surga yang terbentang di neraka.
Saat dia memandangi cakrawala yang terus membentang, angin laut, burung camar berkicau, dan pasir halus yang lembut di bawah kakinya, suara menjengkelkan yang telah menyiksanya selama bertahun-tahun muncul kembali dan berkata, "Sudah kubilang dunia begitu indah."
---
-Shyants Eleftheria, Life is An Journey-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H