Jono Haris memutuskan mengabadikan seluruh hidupnya untuk mengasingkan diri dari dunia. Pikirannya adalah tempatnya sendiri dan dengan sendirinya dapat membuat surga-neraka, neraka surga. Pria itu mengisolasi diri di apartemen sederhananya yang berkamar satu.
"Kenapa harus keluar?" Dia berkata kepada dirinya sendiri setiap kali suara yang menjengkelkannya mencoba membujuknya untuk pergi bersenang-senang di luar. "Dunia adalah tempat yang menjijikkan. Dan di sini aku aman," katanya.
Jono Haris seorang penyendiri. Tanpa diragukan lagi, dia lebih memilih hidup berteman dengan dirinya sendiri dan tidak ingin lagi berbaur dengan orang lain. Kesenangannya cukup dengan membaca koran yang dia beli di kios tidak jauh dari apartemennya, lalu berdiam diri di kamarnya hingga dia tahu kapan harus berhenti bersenang-senang. Dia melakukannnya karena dia membenci dunia.
Setiap malam Jono Haris berbaring di kasur yang lusuh, menyaksikan kecoa keluar dari lubang hitam di langit-langit yang berlari melintasi dinding. Bau busuk keluar dari toilet tempat dia mencuci juga meskipun tidak ingat kapan terakhir kali dia melakukannya.
Di sebelah bantalnya ada jendela yang menghadap ke luar. Yang terlihat olehnya hanya udara kosong, kecuali dia menengok sedikit ke bawah, dari tingkat dua, tampak beberapa orang dan kendaraan berlalu lalang di jalan.
Bangunan apartemennya bertingkat lima, masing-masing berisi lima belas ruangan. Tidak banyak yang menyewa di sana karena bangunannya yang sudah buruk sehingga tidak menarik. Konon katanya pengembang apartemen itu, sebenarnya lebih pantas disebut rumah susun, mengalami kerugian dan tidak mempunyai dana untuk merevitalisasi bangunan itu. Jalan satu-satunya menyewakan dengan harga murah, tetapi tetap saja tidak banyak yang berminat.
Jono Haris cocok tinggal di sana karena dia tidak membenci keadaannya yang sepi. Tidak banyak hal di dunia ini yang tidak dia benci. Dia benci keramaian, pusat perbelanjaan, pesta, mobil, pesawat terbang, dan kendaraan bermotor lainnya karena menurutnya terlalu berbahaya untuk digunakan. Namun, ada satu hal yang sangat dia nikmati: laut.
Meskipun laut hanya berjarak beberapa kilometer dari tempat tinggalnya, Jono Haris belum pernah melihatnya lagi sejak masa kanak-kanak. Bertahun-tahun yang lalu dia memutuskan untuk tidak pergi ke sana lagi karena dia telah membaca tentang bagaimana lautan terkontaminasi dan garis pantai telah menjadi pembuangan sampah hingga menumpuk. Dia bisa tertular penyakit atau mati karena mabuk. Perjalanan ke pantai juga akan berbahaya. Dia mendengar tentang banyak insiden lalu lintas dan takut mati dalam kecelakaan atau tertabrak bus saat menyeberang jalan.
"Begitu banyak masalah yang menjulang di depan, " pikirnya. Setidaknya dia aman di kamar apartemennya di usianya yang kelimapuluh delapan tahun.
Namun demikian, Jono Haris tidak pernah berhasil membungkam musuh terbesarnya: Suara menyebalkan yang terus menyuruhnya untuk bersenang-senang di luar.
"Kamu harus berjalan melintasi kota ke laut," kata suara itu.
"Tinggalkan aku sendiri."
"Mengapa? Apakah kamu takut?"
"Tidak, aku tidak takut."
"Lalu tunggu apa lagi?"
"Itu terlalu berisiko."
"Jadi kamu takut? Ayo buat kesepakatan. Kamu pergi ke laut. Jika di luar benar-benar bencana seperti yang kamu yakini, kamu menang dan aku akan tutup mulut selamanya. Tapi jika tidak, aku berjanji bahwa kamu mengalami hari terindah dalam hidupmu. Nah, adil, bukan?"
"Apa jaminannya?"
"Tidak ada jaminan. Kita hanya bersepakat."
"Aku tidak mencari konfirmasi untuk apa yang sudah aku ketahui," jawab Jono Haris, "jadi diam dan tinggalkan aku."
Orang yang membenci dunia percaya bahwa dia telah mencapai sesuatu yang tidak dimiliki orang lain: Kebenaran. Jono Haris menulis semua pengetahuan yang telah dia kumpulkan tentang kehidupan di dinding kamarnya.
Setelah bertahun-tahun mengumpulkan "tembok pegetahuan" miliknya yang baru saja selesai, Jono Haris mengetahui semua yang perlu diketahui dan menyimpulkan bahwa hal yang paling cerdas yang bisa dia lakukan adalah tidak pernah meninggalkan kamar apartemennya. Tembok di kamarnya itu telah menjadi alkitabnya, sebuah instruksi manual dengan semua jawaban yang dia konsultasikan setiap kali musuhnya, suara yang menganggunya itu, muncul.
Bagi Jono Haris, suara itu adalah suara iblis, pengaruh dari dunia luar, seorang kafir yang menggodanya untuk melakukan hal-hal bodoh. Kata-kata "kamu aman di sini," yang ditulis di dinding dengan darahnya sendiri, menyegel pekerjaan hidupnya.
Itu adalah kebenarannya dan mantra yang dia ulangi setiap hari. Kontaknya dengan dunia luar menjadi langka selama bertahun-tahun secara sporadik. Seorang teman lama atau anggota keluarga sesekali mengunjunginya untuk melihat bagaimana keadaannya, dan seringkali akhirnya mendengarkan kata-kata kasarnya yang panjang, yang selalu, dalam beberpa hal, membenarkan keputusan hidupnya. Tetapi setiap kali tamunya berbicara tentang upaya hidup mereka sendiri, dia dengan cepat menyangkal gagasan mereka.
Suatu hari, saudara perempuannya mengatakan kepadanya bahwa dia akan ke Hong Kong untuk menjadi tenaga pekerja di sana.
"Jangan lakukan itu." Jono Haris mencegahnya dengan khawatir.
Dia telah membaca tentang penyakit eksotik, penculikan, kecelakaan pesawat, dan segala macam insiden lain yang akan membuatnya terlalu berbahaya untuk pergi. Dia juga mencegah seorang teman lama untuk memulai bisnis, mencoba menghentikan saudara laki-lakinya untuk memiliki anak, dan membujuk keponakannya untuk mendapatkan SIM. Keberatannya sama: Terlalu berisiko.
Bahkan, ketika Jono Haris masih muda, dia ingin bepergian ke luar kota, memulai bisnis, dan punya anak. Dia bahkan mempertimbangkan untuk mendapatkan SIM ketika kebenciannnya terhadap mobil tidak sekuat sekarang.
"Kalau begitu, mengapa kamu tidak melakukannya? Tidak terlalu terlambat." Suara menjengkelkannya itu berucap.
"Tinggalkan aku sendiri."
"Aku mengerti. Kamu ketakutan."
"Tentu saja aku takut! Siapa yang tidak takut? Apakah kamu tidak membaca beritanya di dinding? Apakah kamu tidak tahu risikonya?" Jono Haris mulai tersulut emosi.
"Oh, dinding konyol itu. Dinding kebahagiaanmu. Baiklah, aku yakin itu membuatmu merasa bahagia dan aman di sini."
"Ya, aku merasa aman di sini. Jadi, jangan pernah berpikir aku akan berubah pikiran. Dinding ruangan ini telah menyelamatkanku dari banyak kesengsaraan."
Yang menbuat Jono Haris frustrasi, kata-kata suci di dindingnya tidak berarti banyak bagi teman atau saudara yang mengunjunginya. Bukannya menerima nasihatnya, mereka bahkan menunjukkan belas kasihan atas pandangan pesimisnya. Ini yang membuatnya kesal dan dia sering sekali tidak bisa tidur karenanya. Satu-satunya kesenangan yang dia miliki dalam kesengsaraan karena tidak dianggapnya serius adalah sebuah buku kecil yang aneh yang dia sembunyikan di bawah kasurnya dengan kata-kata yang tertulis di sampulnya: "Sudah kubilang."
Dalam buku itu, Jono Haris selalu menulis bahwa dia benar. Ketika teman lamanya bangkrut, dia tidak terkejut. Ketika saudara laki-lakinya yang ditipu istrinya, menceraikannya, akhirnya membayar tunjangan anak, dia tertawa kecil. Ketika keponakannya menabrakkan mobilnya, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengucapkan kata-kata ajaib yang dengan kuat menegaskan cara hidupnya: "Sudah kubilang."
Hari-hari setelah dia mendengar tentang tragedi yang sudah dia prediksi, Jono Haris benar-benar menikmati kecoa merayap di langit-langitnya dan bau kotoran busuk. Itu sekali lagi menegaskan bahwa dunia memang mimpi buruk dan bahwa membuat keputusan yang tepat untuk meninggalkannya dengan penuh semangat.
Melihat dindingnya yang berharga dia bergumam, "Sekelompok orang bodoh. Jika mereka tahu apa yang aku ketahui, mereka tidak akan hidup begitu berbahaya. Setidaknya aku aman di sini, terasing dari kebodohan mereka."
Pada suatu hari, Jono Haris menerima surat dari saudara perempuannya. Bahkan sebelum membukanya, dia sudah tahu bahwa itu akan berisi berita buruk. Namun, itu tidak seperti yang dia harapkan.
Dari kota berjuluk mutiara dari timur, saudara perempuannya menulis kepadanya bahwa penyakit demam tifoid merebak di tempat saudaranya itu bekerja.
"Tifus?" Jono Haris mengerenyutkan kening. Dia dengan cepat melihat keluar jendelanya, dan melihat ke bawah, orang-orang lewat memakai masker wajah dan polisi berpatroli di jalan.
Jono Haris mengetahui bahwa penyakit tifus ditularkan oleh bakteri salmonella yang dibawa kecoa dan menyebabkan demam tifoid diikuti paru-paru berisi nanah hingga tidak bisa bernapas lagi dan mati. Segera dia melihat lubang hitam di langit-langit. Dia mulai memasang perangkap kecoa di semua sudut ruangan apartemennya. Meskipun membunuh banyak kecoa, dia tidak dapat memusnahkan seluruh sarangnya.
Beberapa hari kemudian, Jono Haris bangun di pagi hari dengan demam yang melemahkannya, tetapi dia masih bisa bergerak. Selama dua hari, demamnya makin parah seperti melumpuhkan tulangnya. Napasnya pendek dan berat. Dia melihat ke dindingnya dan berteriak: "Kamu berbohong padaku! Kamu bilang aku aman di sini!"
Jono Haris berdoa memohon pertunjuk, tetapi dijawab dengan diam. Tidak lama kemudian dia tertidur, lalu bermimpi dengan jelas tentang bagaimana dia berjalan ke luar, melintasi jalan kota, melewati tanggul menuju pantai. Ketika dia bangun, matahari bersinar melalui jendela di kamarnya. Daun jendelanya terbuka lebar. Dia merasakan angin lembut datang dan dia mendengar suara burung camar.
Yang membuatnya takut, dia menemukan bahwa "tembok pengetahuan" yang berharga itu kosong. Tidak ada satu kata yang tersisa. Dahinya mulai berkeringat karena demam. Ketika dia bangkit dan melihat melalui jendela kamar, burung camar terbang berputar-putar dan dia melihat pemandangan pantai. Apakah dia mengigau?
Tiba-tiba dinding di sekelilingnya mulai runtuh dan langit-langitnya terlempar ribuan kilometer jauhnya ke langit sampai menghilang seperti bintang jatuh. Kecoa yang merayap telah digantikan oleh pekikan burung, bau kotoran menjadi angin pantai yang menyegarkan dan kasur yang membusuk menjadi pasir halus yang lembut. Dia merasakan kehangatan matahari dan udara asin sedikit membantu pernapasannya. Di belakangnya dia melihat jejak kaki pasir pantai yang indah tidak bernoda, yang mengarah ke tanggul, dan seterusnya, dia melihat ke laut.
Napas Jono Haris yang menyakitkan menjadi lebih berat dan lebih pendek. Paru-parunya di penuhi nanah. Dia berbisik, "Ini ... bukan ... tempat ... yang ... aman ... untuku."
Namun kemudian, suara burung camar dan ombak laut lebih hidup sedemikian rupa sehingga ketakutan dan kekhawatirannya terlepas dari pudaknya dan menghilang. Nanah di paru-parunya mulai menghilang. Tidak ada misteri yang tersisa untuk dipecahkan, tidak ada yang perlu dipahami, tidak ada keluarga atau teman untuk diyakinkan, tidak ada catatan untuk disimpan, tidak ada ide untuk dipertahankan. Yang tersisa hanyalah keindahan laut di dunia yang tidak aman, surga yang terbentang di neraka.
Saat dia memandangi cakrawala yang terus membentang, angin laut, burung camar berkicau, dan pasir halus yang lembut di bawah kakinya, suara menjengkelkan yang telah menyiksanya selama bertahun-tahun muncul kembali dan berkata, "Sudah kubilang dunia begitu indah."
---
-Shyants Eleftheria, Life is An Journey-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H