"Jangan bodoh, Philiphe. Aku Suzaan."
"Kamu tidak mungkin Suzaan. Aku tahu betul Suzaan tidak memanggiku seperti itu dan dia juga tidak bisa menelponku pada malam seperti ini."
"Oh, menyedihkan, kamu mulai melupakan aku. Tapi ini aku, percayalah. Aku tidak tidak nyaman di sini, jadi aku ingin segera pulang."
Aku menutup panggilan telepon itu, lalu bangkit dari tempat tidur, mengambil dan mengenakan jubah merah tebal, turun ke ruang kerja dan membuat minuman untuk diriku sendiri. Menjengkelkan! Dalam beberapa hari, aku seperti merasakan sebuah teror.
Jarum jam dinding berada di kisaran pukul satu dini hari ketika aku pergi ke hutan di belakang rumah sambil membawa sekop. Aku berhenti di samping pohon yang paling tinggi dan mulai mengambil langkah secara penuh, lalu menghitungnya secara bersamaan: Satu, dua, ... lima ... sepuluh ... empat belas, lima belas, enam belas. Langkahku berhenti dan mulai menggali.
Aku sudah menggali kira-kira selama lima menit. Tiba-tiba kudengar teriakan orang-orang. Wajahku kemudian tertimpa cahaya. Seketika aku menghalaunya dan mengenali beberapa orang yang bekerja di rumah Katie, termasuk pengacaranya.
Katie melangkah maju. "Kamu ingin memastikan kalau dia benar-benar mati, Philiphe? Dan satu-satunya cara untuk melakukannnya adalah kembali di tempat kamu menguburkannya. Kamu seorang pembunuh!"
"A---aku hanya mencari pisau indian kunoku," jawabku mengelak, "Ada kepercayaan bahwa jika menemukannya di bawah sinar bulan, itu akan membawa keberuntungan."
Katie menggeleng-geleng sambil tersenyum sinis. Dia menunjuk satu laki-laki yang tidak kukenal.
"Tahukah kamu, ini detektif swasta. Dia telah mengawasimu selama dua puluh empat jam sehari sejak aku menebak apa yang sebenarnya terjadi pada Suzaan."
Katie beralih menunjuk ke perempuan kecil gemuk. "Dia Nona Milan yang sering kamu lihat dengan gaun ungu dan bertopi cokelat. Masih ingat ketika kamu sempat ingin mengejarnya beberapa hari kemarin? Nona Milan juga yang mengirimimu surat dengan meniru tulisan Suzaan."