Sinar bulan menyinari wajahku. Kuperkirakan satu hari lagi bentuknya akan terlihat bundar sempurna. Ketika hampir sampai ke bawah pepohonan besar, aku berhenti, menggeleng perlahan, lalu kembali ke gubuk dan meletakkan sekop.
Keesokan paginya, Katie datang menemuiku ketika aku sarapan. Dia membawa surat beramplop biru yang baru saja datang yang dialamatkan kepadaku. Cap posnya kota setempat kami. Aku membuka amplop dan mengeluarkan selembar kertas. Tulisannya seperti tidak asing. Â Â Â Â .
Halo, Philiphe,
Aku merindukanmu. Aku akan segera pulang.Â
Tertanda, Suzaan.
Aku memasukkan surat itu ke dalam amplopnya dengan baik. Katie bertanya, "Aku mengenali tulisan Suzaan di amplop. Apakah dia mengatakan kapan dia akan kembali?"
"Ini bukan tulisan Suzaan. Ini surat dari bibiku di Jerman."
"O,ya? Aku tidak tahu kamu punya bibi di Jerman." Nada bicara Katie terdengar tidak percaya.
Malam harinya, aku sedang di tempat tidur dan terbangun ketika telepon yang terletak di sampingku berdering.
"Halo, Sayang, ini Suzaan."
"Kamu bukan Suzaan."