Ironisnya, kesenanganku terasa semu ketika dia ternyata membawa setumpuk kertas pekerjaannya juga. Aku kecewa.
“Untuk apa ada liburan jika kamu masih sibuk dengan pekerjaanmu.”
“Aku sedang berusaha membagi waktuku.”
“Apa aku terlalu menuntutmu?”
“Aku bukan laki-laki sempurna, May.”
“Aku tahu, kamu masih belum mau berusaha untuk seorang anak, bahkan membicarakan adopsi pun kamu tidak berkenan, bukan? Jadi, sebenarnya kamu tidak perlu terpaksa melakukan liburan ini juga.”
Aku sabar, tepatnya berusaha sabar, sampai batas sabarku seperti hanya dipermainkannya: Kehidupan kami tidak lebih penting dari segala urusan pekerjaannya. Itu terjadi bertahun-tahun hingga aku ingin menyelesaikannya pada tahun kedelapan ini.
Setelah pulang dari Nat, aku pergi ke toko kue dan menunjuk tart berlapis cokelat kesukaan aku dan dia ke salah satu pelayannya dan meminta untuk mengantarkannya ke rumah saja.
Aku memasukkan lily kuning setangkai demi setangkai ke dalam vas keramik yang sudah lama tidak terisi. Sejak setahun pertama aku memang tidak pernah mengisi vas bunga lagi dengan bunga apa pun, selain hanya sebagai penghias lemari kaca. Vas bunga itu seperti menanti untuk dikeluarkan dari sana.
Menjelang malam, aku mengatur meja makan, membuatnya lebih tertata indah dan menarik untuk hari yang seharusnya menjadi alasan kami bersama dalam pernikahan. Lily kuning dan tart berlapis cokelat hanyalah simbol dari kepalsuan manisnya rumah tangga kami seperti yang terlihat dari luar sana.
Aku kemudian duduk bercermin dan melihat wanita berambut panjang sedang duduk di depan meja rias di dalamnya. Dia memandangku dengan wajah seperti kehilangan cahaya, sorot matanya pun seperti kehilangan nyawa, bibirnya sudah tidak menggairahkan meskipun wanita itu memolesinya dengan pelembab merah merona, keindahan dan keranuman tubuh yang pernah dimilikinya dulu, berangsur-angsur layu begitu saja. Delapan tahun terlewati, tetapi dia ingin tetap berdandan agar terlihat cantik.