Namun, fenomena yang turut menyertai problema cinta itu sendiri adalah meski kesakralan pernikahan telah terkikis sehingga komitmen jangka panjang antara dua orang berdasarkan kepercayaan dan tanggung jawab sebagian besar telah tergantikan oleh monogami serial, karena tampaknya orang-orang masih mendambakan cinta itu sendiri.
Konsep cinta telah berkisar pada pengalaman tergila-gila dengan orang lain yang membahagiakan. Dalam kebanyakan kasus, cinta menggambarkan ikatan antara dua orang yang mencangkup ketertarikan fisik.Â
Cara kita mempraktikkan cinta telah berubah selama bertahun-tahun dan bahkan menjadi norma, misalnya, fenomena ksatria abad pertengahan yang berusaha mengesankan wanita bangsawan dengan melakukan berbagai layanan, seperti pergi berperang, merayu seorang wanita secara heroik untuk mendapatkan persetujuannya.
Akan tetapi, fase tergila-gila yang seseorang alami ketika jatuh cinta mungkin membuatnya merasa lengkap untuk sementara waktu. Namun, ketika bulan madu berakhir, dia kembali pada ketidaklengkapannya itu.Â
Itulah sebabnya, banyak orang dihadapkan dengan kekurangan batin sehingga mereka memutuskan berpisah dengan satu pasangan dan mencari yang lain hanya untuk mendapatkan romantisme lagi.
Padahal kesempurnaan bukanlah sesuatu yang dapat ditemukan di mana pun, kecuali di dalam diri kita sendiri. Ketika merasa lengkap sebagai individu, kita akhirnya bisa mencintai tanpa syarat.
Karena jatuh cinta bisa menjadi pengalaman yang indah, yang tidak dinodai oleh keinginanan dan kebutuhan semata, maka dengan cara ini kita tidak melihat cinta sebagai jalan menuju kesempurnaan, tetapi sebagai kesempatan untuk berbagi kelengkapan kita sendiri dengan orang lain.Â
Idealnya, ketika menilik kisah percintaan Soren Kierkegaard-Regine Olsen atau Anakin Skywakler-Padme Amidala, kita seharusnya memasuki domain cinta nonprefensial, yaitu bahwa kita tidak hanya jatuh cinta terhadap keberadaan pasangan yang sempurna, tetapi juga terhadap sisa-sisa keberadaannya yang tidak sempurna.Â
Jadi, tidak ada yang lebih ditekankan lagi agar kita mencintai orang lain, selain seolah-olah mereka adalah diri kita sendiri. Dengan begitu kita akan benar-benar peduli kepada semua hal.
-Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H