Pernahkah seorang teman memojokkanmu saat berdebat dan membuatmu seakan-akan bersalah sehingga kamu menjadi ragu terhadap dirimu sendiri? Jika pernah, bisa jadi temanmu itu melakukan gaslighting terhadapmu dan kamu adalah korban gaslightingnya.
Apa itu gaslighting?
Istilah gaslighting mulai dikenal pada tahun 1940, kala sutradara Inggris, Thorold Dickinson, merilis film berjudul “Gaslight”. Film bergenre psikologi thriller ini mengisahkan seorang wanita yang menjadi korban manipulasi psikologis suaminya: Sang Suami mencuci otak sang Istri sehingga perlahan istrinya mulai kehilangan jati diri dan menjadi gila.
Berdasarkan kisah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa gaslighting merupakan perilaku menguasai atau mengontrol orang lain melalui manipulasi psikologis pelaku sehingga membuat korbannya tidak berdaya.
Gaslighting jelas merupakan salah satu bentuk kekerasan emosional yang menyebabkan korban merasa rendah diri, cemas, disorientasi, takut, dan akhirnya merasa kalah.
Bahkan, pada tahap ekstrim korban akan mengalami depresi hingga mentalnya jatuh. Manipulasi psikologis melalui gaslighting pada awalnya tampak sebagai masalah kecil. Namun, jika terjadi terus-menerus, perilaku tersebut dapat menyebabkan korban mengalami stres psikologis dan trauma emosional.
Pada kasus ringan, biasanya pelaku gaslighting ini akan melontarkan kalimat-kalimat sederhana yang sering kali tidak kamu sadari.
“Ah, gue, kan, cuma becanda, doang. Kamu terlalu sensitif dan lebay, deh.”
“Mungkin seperti itu di pikiranmu, padahal aku tidak berbicara seperti itu, lho.”
“Masalahnya ada di kamu, bukan di aku.”