Delia tidak ingin hadir. Selanjutnya, dia membiarkan komunikasi dengan Raen terputus begitu saja. Hitungan hari, minggu, bulan, sampai tahun ke lima sejak mereka berpisah akhirnya terlewati.
Sampai pada kamis siang minggu pertama di bulan kedua, ketika Delia baru usai mengantar tamu kantor untuk menginap di sebuah hotel, tiba-tiba dari pelataran lobi seruan panggilan mengarah kepadanya.
“Delia!”
Delia menoleh dan terpaku beberapa jenak. Raen? Bagaimana bisa lelaki itu berada di hadapannya lagi.
“Hai,” jawab Delia singkat, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tentu saja dia mencari pasangan hidup Raen dan juga buah hatinya—yang mungkin sudah ada.
“Aku sendirian, Del,” pungkas Raen tersenyum geli seolah memahami reaksi Delia yang bersikap kikuk bertemu dengannya. Bibir Delia pun terlihat lucu membentuk huruf “o”.
***
“Setahun lalu dia memilih pergi, setelah tahu kemungkinan besar aku tidak bisa memberinya keturunan. Tiga tahun pertama kami sudah berusaha. Sampai akhirnya dokter menyatakan akulah yang salah. sementara itu, keluarga besarnya terus-terusan mendesak agar kami bercerai saja. Ini keputusan yang sangat berat. Ya, sudah. Aku terima semua, ” tutur Raen panjang lebar mengenai kehidupannya setelah menikah.
Delia tercengang. Dia tidak menyangka hal yang sama terjadi pada Raen. Kehidupan memang tidak bisa ditebak. Semuanya penuh rahasia. Raen pun lalu memperhatikan Delia. Wanita itu tetap sama seperti dulu, cantik, meskipun sedikit terlihat lebih kurus. Mereka pun saling melempar senyum.
“Seperti sesuatu yang konyol, ya, Re. Aku memutuskanmu dan kamu ditinggalkan istri karena masalah yang hampir serupa.”
Perempuan berambut panjang tergerai itu lantas tertawa kecil. Raen pun ikut tertawa. Ya, mereka sama-sama mentertawakan takdir yang seolah memberi jawaban tentang alasan mengapa mereka tidak diizinkan bersatu lebih awal.