“Kenapa? Apa kau masih ragu denganku? Ada apa denganmu?” tanya Raen pelan hampir berbisik. Tangannya semakin erat mengenggam jemari perempuan cantik dihadapannya itu.
Perlahan-lahan Delia menarik tangannya dan melepaskannya dari genggaman Raen. Wanita berbalut busana hitam elegan malam itu pun memalingkan wajah dari tatapan lelaki yang mencintainya itu.
“Aku sudah tidak mencintaimu lagi, Re, ” jawab Delia bergetar sebelum menggigit bibir sedikit keras.
Raen menghela napas dan mengusap kepala. Astaga, kalimat itu tidak pernah dia duga—dan Delia mengatakannya seolah sudah mati rasa. Selama ini dia berusaha untuk tidak melakukan kesalahan. Apa yang terjadi? Barisan kata yang terucap dari bibir tipis Delia bagaikan petir yang menggelegar tanpa musabab.
Mata lelaki tiga puluh tahun itu sudah mulai berembun. Raen tidak bisa berkomentar apa-apa. Mulutnya kaku dan hatinya terkoyak, luka. Disaat itulah Delia berdiri dan pergi meninggalkan Raen dalam kebingungan.
“Maafkan aku, Re,” ucapnya terakhir kali dengan mata berkaca-kaca. Sebenarnya wanita itu pun berada dalam keadaan batin yang tidak baik-baik saja.
***
Miom atau tumor jinak tumbuh di area rahim Delia. Perempuan dua puluh lima tahun itu sudah lama mengetahuinya. Selama ini Delia beranggapan bahwa miom tersebut tidak akan berbahaya meskipun timbul sakit yang luar biasa saat datang bulan. Barulah dua bulan terakhir dia mengetahui bahwa miom tersebut semakin mengkhawatirkan. Menurut dokter, satu-satunya jalan terbaik menghilangkan rasa sakit akibat tumor itu adalah dengan cara mengangkat rahim. Itu artinya Delia tidak akan pernah bisa menjadi wanita seutuhnya.
“Kelak kalau kita menikah, aku ingin punya anak yang banyak darimu, Sayang.”
Kata-kata yang sering diucapkan Raen terus berputar di ingatan Delia. Kalimat itu dulu dianggapnya sungguh romantis, tetapi sekarang bak pedang menghujam ulu hati. Keinginan memiliki buah hati tidak akan pernah terwujud. Ini bukan hanya perkara dinikahi Raen saja, melainkan dengan lelaki mana pun, sebab keputusan untuk operasi sudah dia sanggupi.
Hal inilah yang membuat Delia berpikir kembali tentang hubungan asmaranya itu. Delia tidak ingin memberitahu Raen. Dia yakin laki-laki itu akan pergi setelah tahu dirinya tidak bisa memberikan kebahagiaan lebih andaipun mereka menikah. Maka itulah, Delia mengambil sikap lebih dahulu, meninggalkan Raen sebelum ditinggalkan, meskipun perasaan yang dihasilkan sama saja, nyeri.