***
Di ruangan serba putih Delia masih berbaring di atas tempat tidur pemulihan pascaoperasi.
Tante Mia, wanita yang sudah dianggap sebagai pengganti ketiadaan ibunya itu duduk disampingnya.
“Tidak akan ada laki-laki yang mau menerima keadaanku sekarang,” gumam Delia putus asa. Gumaman itu lebih tertuju kepada diri sendiri, namun terdengar jelas di telinga Tante Mia.
“Tidak baik bicara seperti itu, Delia. Jangan mencela takdir Tuhan. Tuhan pasti memberikan alternatif kebahagiaan dalam bentuk yang lain untukmu. Yakinlah.”
Sekarang tidak hanya luka fisik yang harus dipulihkan, tetapi ada luka psikis juga yang harus disembuhkan. Menjalani hidup sebagai wanita yang tidak sempurna tentu tidak ringan bagi Delia. Namun, berkutat pada polemik kehilangan rahim, jelas akan menimbulkan problem kejiwaan tersendiri. Itu tentu sangat tidak baik.
Delia berusaha menerima takdir dan melupakan pernikahan. Hari-hari selanjutnya dia jalani dengan beragam aktivitas. Bekerja dan bersenang-senang, seperti berbelanja, perawatan ke salon, makan, nonton film, atau membaca tabloid receh sekadar ingin tahu gosip murahan artis kawin cerai. Untuk kegiatan lainnya, dia lebih memilih pergi ke panti asuhan. Bergembira bersama anak-anak yang tidak pernah merasakan kehangatan kasih sayang orang tua merupakan bentuk keuntungan bersama yang bisa menjadi terapi psikis untuknya.
***
Setahun berlalu. Suatu pagi kertas merah keungu-unguan berada di atas meja kerjanya.
“Tadi ada kurir yang mengantarkannya.” Penjelasan singkat Anggi, rekan kantornya.
Delia membolak balik kertas di tangannya. Membuka dan membaca nama yang tertera semacam olok-olok saja baginya. Dia berpikir bahwa Raen pasti mengira keputusannya pergi adalah kesalahan besar. Betapa cepatnya cinta lenyap bersamaan dengan hati yang berbalik seperti kaos kaki, meskipun semuanya itu bukan salah Raen.