***
Aku memilih sore hari, sebab tidak ingin menunggu terlalu lama agar bisa mengetahui penyebab menurunnya nilai akademik Anggi, seperti apa yang telah Bu Dina katakan.
“Silakan, Bu.” Bu Tia menyodorkan kertas yang merupakan hasil penilaian tes IQ Anggi tadi.
Aku mengangguk-anggukkan kepala perlahan. Angka kecerdasan Anggi mencapai 148, yang berarti sangat cerdas. Skore tersebut mencangkup aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan. Aku menarik napas lega untuk itu. Namun, selanjutnya perasaanku sedikit terhenyak tatkala melihat skore kemampuan verbalnya.
“Ini tidak buruk, kok, Bu Cindy. Angka 112 itu termasuk rata-rata cerdas,” ujar Bu Tia menjelaskan, “hanya memang agak mencolok pada dua tingkat kecerdasan yang berbeda,” lanjutnya lagi.
Aku masih terdiam. Sesaat pikiran melayang-layang, mencari-cari faktor penyebabnya secara pasti.
“Saya kira perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Sebaiknya seminggu lagi Anggi dibawa ke sini lagi. Kita adakan tes kepribadian,” saran wanita berkacamata itu dengan santun. Tidak banyak petimbangan yang kuambil selain mengangguk dan mengiyakan saran tersebut.
***
Seminggu berselang, aku lagi-lagi meminta izin kantor dan pihak sekolah untuk mengantar Anggi mengikuti kembali serangkaian tes kepribadian. Anak sepuluh tahun itu hanya menurut saja ketika aku harus bolak-balik mengajaknya pergi. Aku tersenyum dan merangkulnya, memastikan kalau dia akan baik-baik saja.
Ada beberapa interviu dan tes tertulis yang harus dijawab Anggi. Dari hasil tes inilah bisa ditarik benang merah tentang apa yang menjadi salah satu faktor penghambat kemampuan verbal Anggi. Setelah semua selesai, Anggi ternyata memberikan jawaban-jawaban yang sangat sederhana atas pertanyaan yang juga sederhana.
Aku ingin … Bunda membiarkanku bermain sesuka hatiku. Bunda tidak menganggapku seperti dirinya. Bunda berbicara yang penting-penting saja. Ayah punya banyak waktu bersama. Ayah juga harus mengakui kesalahannya. Ayah selalu tersenyum.