“Bunda, nanti sepulang sekolah, Enji boleh main dulu, nggak?” Anggi, putriku satu-satunya berbicara dengan mulut yang masih mengunyah roti selai cokelat kesukaannya. Pagi hari seperti biasa, aku, Mas Ben, dan buah hati kami tersebut, menikmati sarapan sebelum beraktivitas.
“Boleh. Tapi gak bisa lama-lama, ya. Ingat, Enji harus belajar. Empat hari lagi olimpiade matematika dimulai, lho.”
“Ya, Bunda.”
Begitulah, aku berusaha mengingatkan jadwal harian putri kesayangan itu. Dia memang satu-satunya harapanku dan Mas Ben ke depan. Untuk itu, tidak salah jika aku ingin membentuknya sedari kecil. Sama hal seperti aku yang dulu dibentuk oleh mendiang kakeknya. Perihal prestasi sekolah maupun di luar sekolah menjadi hal yang sangat penting ditanamkan Ayah untukku. Alhasil, kuterapkan semua itu kepada Anggi. Bahkan, sejak dia mengenyam pendidikan di taman kanak-kanak.
“Dengan prestasi, kamu akan dihargai orang, Cindy.” Entah mengapa, pesan Ayah itu terus tergiang-ngiang di telinga sampai sekarang.
Tidak masalah, karena memang pada dasarnya aku pun sendiri suka belajar dan tantangan. Beasiswa untuk siswa terbaik di sekolah, piala lomba, piagam penghargaan, kerap kali menjadi langgananku dalam memperolehnya, baik dari kegiatan akademik maupun non akademik. Meskipun sebenarnya cukup telat, sebab baru di tingkat pertama sekolah menengah, aku mulai berprestasi.
Bekal roti kumasukkan ke dalam tas ransel sekolah berwarna merah muda milik Anggi. Setelah menuntaskan sarapan, kami saling berpamitan dan bergegas menuju mobil. Sesuai kesepakatan bersama, Mas Ben pergi kerja sendiri dengan mobilnya, sedangkan aku dan Anggi berada dalam satu mobil lainnya. Itu karena kantorku dan sekolah Anggi mempunyai arah yang sama.
***
Seminggu berlalu. Seperti harapanku, medali dan piala olimpiade matematika sudah di tangan Anggi. Penghargaan ke sekian kalinya yang dia dapatkan dari berbagai macam lomba yang diikuti. Anggi seolah sudah tidak kesulitan lagi mengalahkan pesaingnya. Itu karena kedisiplinan belajar yang selalu aku terapkan padanya, disamping memanggil guru les khusus untuk membantunya.
Lagi-lagi aku tersenyum bangga. Kupeluk gadis kecilku itu dengan penuh rasa sayang.
“Enji lebih hebat dari Bunda. Dulu, saat kelas lima seperti Enji, Bunda masih belum dapat piala apa-apa, lho,” selorohku yang membuat bibir mungilnya membulat menyerupai huruf o.