*
"Suatu hari aku diterima bekerja sebagai supir pribadi Pak Abdul, seorang pengusaha kaya raya yang sangat terkenal. Pribadinya begitu sempurna di mataku. Baik, dermawan, dan tidak sombong. Kesehariannya juga tak pernah lepas dari ibadah," cerita Imran.
"Beberapa tahun bekerja padanya, ada perihal yang membuat aku tertarik dengan sikapnya. Beliau selalu menolak lamaran para lelaki tampan kaya bahkan pejabat-pejabat tinggi yang datang untuk anaknya. Jujur, selama berada di rumah pengusaha ini, aku memang belum pernah sekali pun melihat sosok putrinya itu. Kupikir tentulah anaknya sangat istimewa. Maka hatiku pun hampir meledak bahagia tatkala suatu ketika Pak Abdul meminta dengan sangat hormat kesediaanku untuk menjadi pendamping hidup putrinya tersebut."
Imran meneruskan kembali ceritanya. "Pak Abdul berharap pasti kepadaku. Entah apa yang dilihatnya. Padahal aku bukanlah orang yang sepadan dengan diri dan keluarganya. Sangat jauh perbedaan antara hidupku dengan hidup tuanku itu. Namun, Pak Abdul mengutarakan niatnya agar aku berkenan menjadi suami anaknya, walaupun ia tak memaksaku juga."
"Serasa mimpi dan tanpa berpikir dua kali, aku pun mengiyakan. Selanjutnya Pak Abdul menanyakan suatu hal kepadaku. Jika ada sesuatu yang tidak berkenan, apakah aku akan meninggalkan putrinya? Aku tidak mengerti maksud perkataannya. Seharusnya, akulah yang besar kemungkinan ditinggalkan. Mengingat posisiku yang berada di bawah. Akan tetapi, aku ikuti saja keinginannya dan berjanji tidak akan melakukan perbuataan buruk pada putrinya."
"Akhirnya Pak Abdul dan aku sepakat untuk segera melangsungkan pernikahan," cerita Imran.
Diman terdiam mendengarkan. "Lalu bagaimana? Tentu calon istrimu itu cantik luar biasa?" tanyanya.
"Sabarlah, biar aku selesaikan dulu ceritaku," jawab Imran singkat.
"Maka pernikahan pun dilaksanakan. Semua biaya ditanggung Pak Abdul. Setelah akad nikah dan jamuan tamu selesai, aku masuk ke kamar istriku. Semua yang hadir mengerumuniku dan mendoakan. Ketika pintu dan tirai terbuka, aku sungguh terkejut." Imran menelan ludah sesaat.
Kemudian dia melanjutkan. "Ternyata istriku tidaklah cantik seperti yang aku bayangkan. Wajahnya hitam sangat jauh dari kata rupawan. Sejujurnya ada perasaan marah dalam dada karena aku merasa telah ditipu. Namun, mengingat kebaikan Pak Abdul yang kuterima selama bekerja padanya, aku pun menahan emosi dan menerima apa yang sudah ditakdirkan kepadaku. Aku tertegun agak lama. Bukankah aku sudah berjanji untuk tidak meninggalkan putri Pak Abdul yang sudah sah menjadi istriku. Tiba-tiba melintas di kepalaku, mungkin inilah jodoh yang terbaik diberikan Allah kepadaku.” Imran menarik napas sebelum melanjutkan ceritanya kembali. Sementara Diman mendengarkan dengan seksama.
"Istriku langsung mendekatiku dan berkata, "Maafkan ayahku selama ini memegang rapat rahasia tentang aku. Kalau kecantikan yang engkau tuju, maka aku yakin pasti sangat berat yang kau rasakan saat ini. Jika kau mau, aku memiliki harta, kuijinkan kau menikahi lagi wanita lain yang cantik dengan hartaku itu. Namun, aku tetap akan mengabdi kepada engkau sebagai istri yang baik. Pintaku hanya satu, janganlah kau ceritakan kepada siapa pun rahasia ini."