Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dia Itu Wanita Cantik

18 Desember 2020   11:21 Diperbarui: 18 Desember 2020   11:57 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi(pixabay.com)

Diman bertamu ke rumah Imran—sahabatnya, yang sudah hampir lima belas tahun lamanya tak pernah berjumpa. Mengingat bagaimana kehidupan Imran dahulu kala, Diman dibuat tercengang takjub saat melihat kediaman Imran bak sebuah istana.

"Masya Allah! Kau sudah jadi orang kaya sekarang, Imran," seru Diman seraya berdecak kagum.

"Alhamdulillah. Semua rezeki sumbernya dari Allah." Begitu ungkap Imran dengan rendah hati.

Hari itu, Diman mendapat jamuan istimewa dari sang sahabat. Mereka bercengkrama mengenang masa-masa susah kala bersama dahulu. Diman sangat senang melihat keadaan Imran sekarang. Meskipun Imran sudah menjadi seorang yang kaya raya, tetapi sifat ramah serta bersahajanya tak pernah lekang karena perubahan. Satu lagi yang menjadi penilaian Diman adalah Imran tak pernah berbangga hati akan kehidupannya yang telah bergelimang harta.

Di tengah-tengah suasana santai bersenda gurau, datanglah seorang putra Imran dengan sopan. Usianya sekitar sembilan tahun. Menyaksikan adab anak tersebut, Diman terpesona. Anak itu sungguh santun layaknya anak berpendidikan. Bicaranya pun lembut dengan bahasa yang halus. Bukan hanya itu, wajahnya tampan, putih, bersih, dan bersinar. Sungguh menawan. Rambutnya hitam mengilap. Penampilannya membuat setiap mata terpana dengan pandangan berbinar. Diman yakin, jika kelak anak itu dewasa tentu akan banyak wanita yang jatuh hati padanya.

“Ini Saleh, putraku yang pertama, masih bersekolah kelas lima sekolah dasar. Adiknya Saleha, usianya masih empat tahun, ada bersama ibunya sekarang,” Imran memperkenalkan putra-putrinya kepada Diman.

Melihat sosok putra Imran dan membandingkannya dengan sahabatnya sendiri, Diman pun menduga, pastilah ibunya berasal dari keturunan yang sangat cantik, cerdas, dan halus budi. Diman tercenung dan kagum.

Terucap kalimat dari mulut Diman, "Anak yang sangat menawan. Pastilah ibunya seperti bidadari dari surga."

Imran diam mendengar pujian Diman. Beberapa saat kemudian, dia menceritakan sesuatu yang mencengangkan tamunya itu.

"Aku akan bercerita tentang ibunya," ujar Imran.

*

"Suatu hari aku diterima bekerja sebagai supir pribadi Pak Abdul, seorang pengusaha kaya raya yang sangat terkenal. Pribadinya begitu sempurna di mataku. Baik, dermawan, dan tidak sombong. Kesehariannya juga tak pernah lepas dari ibadah," cerita Imran.

"Beberapa tahun bekerja padanya, ada perihal yang membuat aku tertarik dengan sikapnya. Beliau selalu menolak lamaran para lelaki tampan kaya bahkan pejabat-pejabat tinggi yang datang untuk anaknya. Jujur, selama berada di rumah pengusaha ini, aku memang belum pernah sekali pun melihat sosok putrinya itu. Kupikir tentulah anaknya sangat istimewa. Maka hatiku pun hampir meledak bahagia tatkala suatu ketika Pak Abdul meminta dengan sangat hormat kesediaanku untuk menjadi pendamping hidup putrinya tersebut."

Imran meneruskan kembali ceritanya. "Pak Abdul berharap pasti kepadaku. Entah apa yang dilihatnya. Padahal aku bukanlah orang yang sepadan dengan diri dan keluarganya. Sangat jauh perbedaan antara hidupku dengan hidup tuanku itu. Namun, Pak Abdul mengutarakan niatnya agar aku berkenan menjadi suami anaknya, walaupun ia tak memaksaku juga."

"Serasa mimpi dan tanpa berpikir dua kali, aku pun mengiyakan. Selanjutnya Pak Abdul menanyakan suatu hal kepadaku. Jika ada sesuatu yang tidak berkenan, apakah aku akan meninggalkan putrinya? Aku tidak mengerti maksud perkataannya. Seharusnya, akulah yang besar kemungkinan ditinggalkan. Mengingat posisiku yang berada di bawah. Akan tetapi, aku ikuti saja keinginannya dan berjanji tidak akan melakukan perbuataan buruk pada putrinya."

"Akhirnya Pak Abdul dan aku sepakat untuk segera melangsungkan pernikahan," cerita Imran.

Diman terdiam mendengarkan. "Lalu bagaimana? Tentu calon istrimu itu cantik luar biasa?" tanyanya.

"Sabarlah, biar aku selesaikan dulu ceritaku," jawab Imran singkat.

"Maka pernikahan pun dilaksanakan. Semua biaya ditanggung Pak Abdul. Setelah akad nikah dan jamuan tamu selesai, aku masuk ke kamar istriku. Semua yang hadir mengerumuniku dan mendoakan. Ketika pintu dan tirai terbuka, aku sungguh terkejut." Imran menelan ludah sesaat.

Kemudian dia melanjutkan. "Ternyata istriku tidaklah cantik seperti yang aku bayangkan. Wajahnya hitam sangat jauh dari kata rupawan. Sejujurnya ada perasaan marah dalam dada karena aku merasa telah ditipu. Namun, mengingat kebaikan Pak Abdul yang kuterima selama bekerja padanya, aku pun menahan emosi dan menerima apa yang sudah ditakdirkan kepadaku. Aku tertegun agak lama. Bukankah aku sudah berjanji untuk tidak meninggalkan putri Pak Abdul yang sudah sah menjadi istriku. Tiba-tiba melintas di kepalaku, mungkin inilah jodoh yang terbaik diberikan Allah kepadaku.” Imran menarik napas sebelum melanjutkan ceritanya kembali. Sementara Diman mendengarkan dengan seksama.

"Istriku langsung mendekatiku dan berkata, "Maafkan ayahku selama ini memegang rapat rahasia tentang aku. Kalau kecantikan yang engkau tuju, maka aku yakin pasti sangat berat yang kau rasakan saat ini. Jika kau mau, aku memiliki harta, kuijinkan kau menikahi lagi wanita lain yang cantik dengan hartaku itu. Namun, aku tetap akan mengabdi kepada engkau sebagai istri yang baik. Pintaku hanya satu, janganlah kau ceritakan kepada siapa pun rahasia ini."

"Selesai istriku berbicara, hatiku sudah tenang. Maka dengan mantap juga aku menjawab permintaan istriku bahwa aku mau menikahinya bukan untuk kecantikan tetapi karena iman yang hadir dalam dada. Aku percaya dia wanita yang baik."

*

Sejak itulah, tetesan kebahagiaan mengalir dalam kehidupan Imran dan istrinya. Pak Abdul, yang telah menjadi mertuanya, sangat bahagia dan mempercayakan satu usaha untuk dijalankan oleh Imran. Tak pernah sedikit pun terbersit dalam benak Imran untuk berkhianat.

Kehidupan Imran semakin bahagia. Dia selanjutnya menuturkan," Istriku pun semakin hari semakin ceria dan segar. Semakin lama, semakin terasa cantik prilaku dan hatinya. Lalu anak-anakku pun lahir dan dibesarkan dengan budi pekertinya, sampai hari ini," tutup cerita Imran.

iman tertunduk dan berkata, "Sungguh Allah Maha Besar."

Wanita yang buruk penampilan, tetapi cantik akhlaknya, lebih baik daripada wanita yang cantik penampilan, tetapi buruk akhlaknya.

****

S. Eleftheria, Desember 2020.#Salam Wong Bumi Serasan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun