Karena konsistensi Ai Boy yang saya perhatikan tak pernah surut, akhirnya saya berinisiatif untuk mengajukannya sebagai nominator Frans Seda Award 2015 yang diselenggarakan Unika Atma Jaya.
Tanpa membuang waktu, saya pun menempuh kurang lebih 350 kilometer Jakarta-Pangandaran untuk melihat langsung perkembangan Komunitas Sabalad dan SMK Bakti Karya yang tengah dibesarkan Ai Boy. Yuk, simak ulasannya…
Komunitas Belajar Sabalad
Setelah menyabet gelar S.IKom dari Universitas Paramadina, Jakarta, pada pertengahan tahun 2012, Ai Boy langsung pulang kampung (pulkam) membawa misi besarnya, sambil menunggu wisuda setahun kemudian. Tapi, Ai Boy baru sadar kalau ia sama sekali tak punya kawan seperjuangan di kampung. Sebabnya jelas, sejak lulus SD, Ai Boy meneruskan pendidikan di luar kampungnya hingga menamatkan kuliah di Jakarta. Terlebih, ia sendiri tak punya investasi apa-apa di kampung baik secara sosial maupun politik yang membuat ia dikenal orang-orang desa saat itu.
Tapi, Bukan Ai Boy namanya kalau tak mampu membereskan masalah tersebut. Secara politis, Ai Boy berkonsolidasi ke suprastruktur desa, merangkul para tetua adat dan sesepuh kampung supaya mendapat dorongan moril sekaligus sebagai saluran komunikasi di masyarakat, juga mendekati pemuda-pemuda desa yang bakal menjadi agen gerakan. Ia pun mencari pengalaman mengajar sebagai guru honorer di salah satu sekolah dan mengisi acara-acara diskusi di beberapa sekolah.
Selanjutnya, Ai Boy mengajak anak-anak muda desa untuk sekedar kumpul-kumpul dan diskusi ngalor-ngidul di rumahnya. Diskusi yang dilakukan selepas Isya hingga jam 3 dini hari itu, menjadi medan magnet bagi pemuda lain, lantas satu dua orang terus berdatangan tiap kali diskusi. Sampai-sampai, warga mulai protes karena bertambah larut, diskusinya semakin berisik—mungkin karena semua keresahan, keluh kesah, dan cita-cita tumpah ruah di sana.
Filosofi komunitas ini sederhana saja, kata Sabalad itu sendiri berarti seperkawanan. Jadi, Sabalad adalah komunitas seperkawanan, ajang kumpul-kumpul pemuda desa untuk turun tangan melakukan aksi nyata di masyarakat. Program diskusi jangkrik jadi andalan, dimana diskusi baru akan dimulai kalau sudah terdengar suara jangkrik di malam hari. Mereka juga fokus membidik persoalan pendidikan di kampung Cikubang, Parigi, dan lebih luas lagi pada skala Kabupaten Pangandaran. (lihat penjelasannya di sini)
Malang nian, di awal terbentuknya komunitas, beberapa pemuda bertato datang lalu bilang begini, “Mang, geuslah, ulah loba berharap, tong ngimpi, nu kieu mah teu kapikiran ku pamuda. Di dieu mah ngan jagona gelut di hajatan. (Bang, sudahlah, jangan terlalu banyak berharap, jangan mimpi, anak-anak muda di sini tidak memikirkan begitu-begini, mereka hanya jago berantem setiap kali ada hajatan).” Ai Boy dkk pun sempat dilabeli pengikut Abu Bakar Baasyir, dan disebut sebagai anak-anak muda yang hanya doyan nongkrong.