[caption caption="Lingkungan Komunitas Belajar Sabalad dan Sekolah SMK Bakti Karya"][/caption]
Â
Dalam pidato HUT PGRI tahun 2014, Menteri Pendidikan Anies Baswedan mengatakan, "Pendidikan adalah ikhtiar paling fundamental dalam membangun bangsa." Lalu timbul pertanyaan, ikhtiar apalagi yang harus kita lakukan? Sedangkan dalam perkembangannya, pendidikan Indonesia masih berkutat seputar utak-atik kurikulum, pemerataan akses pendidikan (equity), mutu pendidikan, hingga lulusan sekolah maupun perguruan tinggi yang kelimpungan menghadapi tantangan globalisasi.
Menimbang itu semua, rasanya PR ini tak semestinya kita lepaskan begitu saja pada otoritas suprastruktur, tapi setiap kita mesti mau berbuat demi kemajuan pendidikan, minimal untuk lingkungan sekitar. Begitulah yang dipikirkan Ai Nurhidayat (26), pemuda asal Desa Cikubang, Kec. Parigi, Kab. Pangandaran. Ia rela melepaskan semua peluang karir dan masa depannya yang cemerlang di Ibukota Jakarta, demi membangun masyarakat desa yang melek pendidikan.
[caption caption="Ai Nurhidayat (26), Pendiri Komunitas Sabalad di Desa Cikubang, Kec. Parigi, Kab. Pangandaran"]
Sekelumit saja kalau melihat latar belakang pendidikan dan pengalaman Ai Boy—begitu sapaan akrabnya, memang menggiurkan jika ia tetap di Ibukota Jakarta. Bagaimana tidak, selain kuliah atas biaya Paramadina Scholarship, ia juga menjabat ketua Senat Universitas Paramadina Jakarta, yang semakin meluaskan aksesnya ke sana-sini. Ai Boy pernah diutus NGO Asia Pacific Network for Food Sovereignty (APNFS) mewakili Indonesia ke Kamboja mengikuti kegiatan Toward Organic Asia yang membahas seputar Youth Organic Farming, tahun 2014.
Ai Boy juga dipercaya sebagai Asisten Kepala Program Radio-Televisao de Timor Leste pada program televisi yang baru saja berdiri satu tahun, pada 2011 silam. Ai Boy yang suka bertualang ini, juga mendapat penghargaan dari Deputi Bidang Akademik Paramadina sebagai mahasiswa yang pertama kali melakukan internship ke luar negeri, Timor Leste. Dan terpenting, ia tetap kritis terhadap kebijakan rektorat Universitas Paramadina yang saat itu dipimpin Anies Baswedan. Salah satu rekam jejaknya dalam dunia pergerakan kampus yang paling diingat adalah berhasil mengubah model student government  Paramadina dari Senat menjadi Serikat Mahasiswa yang kini memasuki tahun ke-6.
Pengalamannya di dunia aktivis kampus dan pendidikan, ternyata tak membius Ai Boy untuk tetap di kota, tapi menggerakkan nuraninya untuk kembali ke kampung. Baginya, anak muda kekinian cenderung senang berkompetisi di kota, mencari prestise, ketimbang pulang kampung dan berdaya guna bagi masyarakat.
Ai Boy menolak urbanisasi yang mempertajam ketimpangan kota dengan desa. Secara psikologis, jelas mempengaruhi mental anak muda di desa yang akhirnya berhijrah ke kota, lantaran dipikirnya kehidupan kota menawarkan solusi kesejahteraan finansial dan kebahagiaan. Padahal, meski diakuinya cukup sulit mencari nominal atau uang di desa, tapi bukan berarti sulit mencari kebahagiaan.
Berawal dari keresahan-keresahan itulah, pecinta olahraga basket ini memutuskan pulang kampung. Menurutnya, masalah pendidikan di kampungnya sangat kronis, seperti minimnya ketersediaan buku, perpustakaan, dan sekolah yang masih sulit dijangkau. Action-nya, Ai Boy berencana membangun taman baca untuk orang-orang di kampungnya.
*****