Sedangkan bagi pandai besi, memiliki gaya khas karyanya maupun pilihan pemasaran. Rata-rata pandai besi masih cara tradisional baik cara kerja maupun pemasaran. Mulai dari tungku perapian, arang, godam dan mungkin satu satunya peralatan modern sepertinya adalah mesih gerinda.Â
Untuk pemasaran, biasanya mereka lebih kepada pelanggan setia dan dari cerita ke cerita. Sebagian pandai besi seperti Wo Jais enggan memasarkan langsung ke toko-toko atau masuk ke pasar-pasar dengan alasan menjaga kualitas dan nama.
Mungkin ini juga penyebab tidak banyak di maps ketika kita searching, mereka bukan memasarkan diri ala restoran atau tepat makan, maupun toko dan pusat perbelanjaan. Tetapi orang-orang yang memasukannya ke peta online.Â
Bahkan di Kota Jambi dan sekitarnya, ada beberapa pandai besi, selain Wo Jais, ada di Thehok, di Bagan Pete, di Aur Duri tetap eksis menempa kerasnya kota.Â
Di luar kota yang terdekat dengan Kota Jambi sepengetahuanku ada di Kumpeh dan Serasah. Di daerah-daerah tentu masih banyak pandai besi lagi.
Yang jelas, usai ke pandai besi dan mengetahui lokasi tepatnya, masalah yang aku alami ada solusi dan juga ada tempat menyelesaikan urusan kerasnya besi. Dua Parang yang aku bawa sudah selesai dan aku asah menjadi tajam. Bisa jadi akan berkali-kali lagi datang serta menjadi pelanggan.
Besi menjadi bagian hidup kita. Dari pandai besi juga belajar, kerasnya besi bisa dibentuk dengan kerasnya perjuangan. Agar tidak tumpul, ada saatnya harus ditempa dengan keras dan panas bara api agar kembali tajam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H