Mohon tunggu...
Shonanar Rohman
Shonanar Rohman Mohon Tunggu... Lainnya - Berbagi dengan menulis

Seorang yang antusias dengan dunia pendidikan dan literasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menteri Pendidikan Berlatar Belakang Guru, Gak Bahaya Tah?

16 Oktober 2024   18:37 Diperbarui: 16 Oktober 2024   18:59 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini netizen Indonesia tengah ramai membicarakan Menteri Pendidikan. Mereka berujar jika Menteri Pendidikan itu mestinya berlatar belakang guru karena dengan begitu ia bisa membuat kebijakan yang bagus dan bahkan mengubah pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Loh he. . . Gak bahaya tah?

Jika ditelaah secara mendalam, apa yang menjadi ide gagasan netizen tersebut merupakan kritik sekaligus harapan. Pasalnya, kebanyakan dari mereka merasa bahwa Menteri pendidikan telah gagal dalam mengarahkan pendidikan Indonesia. 

Hakikat pendidikan merupakan sebuah investasi untuk meraih masa depan yang lebih baik. Tapi celakanya, belum sampai pada masa depan, sudah banyak hal yang membuat netizen menjadi geram.

Dalam ranah kebijakan misalnya, banyak netizen yang menyayangkan sistem zonasi tetap berlanjut. Sebuah sistem yang digadang-gadang sebagai upaya pemerataan pendidikan, nyatanya malah melahirkan sebuah polemik. Jika ada daerah yang hanya memiliki satu sekolah negeri aja, sekolah itu jelas akan menjadi rebutan banyak masyarakat sekitar. 

Sayangnya, masyarakat yang anaknya tidak mendapat jatah ya akhirnya menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta terdekat yang biayanya jauh lebih mahal. Fakta inilah yang benar-benar jauh dari tujuan pemerataan tadi.

Saya pribadi sebenarnya memaklumi netizen yang demikian. Saya sendiri pun juga menyayangkan apa yang menjadi kebijakan Menteri Pendidikan saat ini, dan tentunya berharapa ada kebijakan baru yang jauh lebih strategis dan menguntungkan banyak kalangan masyarakat.

Walaupun demikian, saya juga tidak serta merta menerima ide gagasan netizen yang mengharuskan Menteri Pendidikan berlatar belakang guru. Saya percaya apa yang menjadi gagasan para netizen mengandung nilai kebaikan. 

Bagaimanapun, jika hal itu menyangkut masyarakat Indonesia secara luas, bijaksananya ide gagasan tersebut wajib untuk diuji terlebih dahulu. Karena jika tidak, SDM Indonesia lah yang akan menjadi taruhannya.

Tidak Sesederhana Itu

Latar belakang seseorang memang bisa menunjang seseorang dalam berkarier, bahkan menjadi profesional yang cemerlang. Namun, konsepnya tidak sesederhana itu. Latar belakang seseorang bukanlah satu-satunya faktor penentu utama. Seseorang agar bisa bekerja dengan sangat efektif dan efesien juga memerlukan banyak kualifikasi dan kompetensi. 

Logikanya, semakin banyak kualifikasi dan kompetensi dimiliki seseorang, semakin berkualitas hasil pekerjaan yang dilakukannya.

Masih ingatkah netizen dengan Diego Maradona? Dia merupakan legenda sepakbola yang berasal dari Argentina. Bagaimana tidak legenda, dia memiliki kepiawaian yang luar biasa dalam mengolah si kulit bundar. Selalu, ketika bola sudah berada di jangkauan kakinya, semua lawan mulai dari penyerang hingga penjaga gawang langsung ketar-ketir dibuatnya. 

Dribbling dan finishing-nya sangat mematikan. Penonton yang menonton aksinya di lapangan, tidak peduli mereka mendukung timnya atau tim lawan, pun juga sangat terhibur kegirangan. Karena kehebatannya bermain sepak bola itulah ia bisa membawa tim nasional Argentina sukses merebut gelar jawara piala dunia 1986.

Namun selepas gantung sepatu dan menjadi pelatih sepak bola, karirnya tidak sesukses saat ia masih aktif sebagai pemain. Bisa dikatakan karirnya sebagai pelatih begitu pahit. Pada perhelatan kejuaran piala dunia 2010, ia ditunjuk sebagai tim nasional Argentina. 

Hampir semua masyarakat Argentina menyambut positif hal itu. Bahkan, ada yang begitu percaya Maradona akan kembali membawa pulang piala paling bergengsi seantero dunia itu ke negara mereka layaknya apa yang pernah ia lakukan saat sebelum pensiun sebagai pemain sepak bola profesional.

Akan tetapi fakta berkata lain. Meskipun Maradona berhasil mengantarkan Argentina lolos fase group pada kejuaraan itu, sayangnya langkahnya harus terhenti pada babak delapan besar karena dibantai oleh squad Jerman kala itu dengan skor 4-0.

Lain Maradona, lain Andre Carnegie. Banyak orang di dunia yang mengagumi sosoknya. Andre Carnegie adalah seorang filantropis, dermawan, pebisnis, raja industri baja, dan salah satu orang terkaya di dunia pada masanya. 

Ia merupakan orang Skotlandia yang kemudian migrasi ke Amerika Serikat. Andre Carnegie mulanya bekerja di pabrik kapas, namun karena kegigihan dan kepintarannya lah akhirnya ia bisa menapaki sukses di industri baja.

Yang lebih hebat lagi dari Carnegie adalah ia memiliki kontribusi sangat besar dalam dunia pendidikan dengan mendirikan 2.500 perpustakaan umum yang dikenal sebagai Carnegie Libraries, Carnegie Technical School pada tahun 1900 (kemudian menjadi Carnegie Mellon University), dan Carnegie Corporation of New York pada tahun 1911 (yayasan amal yang didedikasikan untuk pendidikan dan pembangunan pengetahuan). 

Ini jelas luar biasa karena ia tidak pernah sama sekali berprofesi sebagai guru atau bekerja sebagai tenaga pendidik sebelumnya. 

Modal besarnya dalam mendirikan itu semua ialah filosofi pendidikan yang ia anut begitu erat. Ia percaya bahwa pendidikan merupakan cara bagi seseorang agar bisa meningkatkan kualitas diri dan mencapai kesuksesan yang ia ingini.

Lantas apa yang bisa netizen pelajari dari kisah Maradona dan Andre Carnegie di atas? Pertama, bahwa meskipun seseorang memiliki latar belakang pekerjaan yang luar biasa, bukan berarti itu bisa dijadikan landasan utama ia juga bisa hebat ketika menduduki kursi kekuasaan. Kedua, walaupun seseorang memiliki ketiadaan latar belakang tertentu, ternyata ia tetap mampu berkontribusi besar pada dunia tersebut.

 Singkatnya, saya ingin menyampaikan bahwa bukan berarti seseorang berpengalaman menjadi guru, lantas ia secara otomatis qualified dan kompeten menjadi Menteri Pendidikan, bahkan meramu kebijakan yang strategis. Gak segampang itu Ferguso!

Menteri Berbeda Dengan Guru

Sudah dapat dipastikan, bahkan orang awam pun juga tahu, bahwa profesi guru dan jabatan Menteri Pendidikan adalah dua hal yang berbeda. Memang benar bahwa prinsip-prinsip skill tertentu pada guru ada yang relevan dan bisa dimanfaatkan dalam melaksanakan tugas-tugas Kementerian Pendidikan. Akan tetapi, dilihat dari sudut pandang holistik Menteri jauh membutuhkan keterampilan, kompetensi dan kualifikasi yang lebih komprehensif dan komplex ketimbang guru.

Pada dasarnya, seorang Menteri dalam membuat sebuah kebijakan memerlukan banyak atribut diri yang berkualitas, dan itu terwakilkan dari kompetensi dan kualifikasi yang melekat pada Menteri tersebut. Pengalaman profesi memang dibutuhkan, namun itu hanya menjadi salah satu dari sekian banyaknya kualifikasi yang wajib dimiliki.

 Contohnya, seorang Menteri harus memahami konteks sosial dan politik. Ini maksudnya karena kebijakan yang nantinya dibuat harus tetap mewakili dan menganut nilai sosial, budaya dan norma masyarakat, serta memperhitungkan dinamika politik yang terjadi dan kepentingan politik yang menyertai.

Tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Menteri yang menjabat wajib hukumnya memiliki keterampilan analitis dan penelitian. Sebuah kebijakan tidak boleh berdasarkan pada intuisi. 

Kebijakan yang strategis lahir dari data statistik, survei, dan sejumlah penilitian ilmiah agar selanjutnya bisa dievaluasi dampak kebijakannya dan dipelajari sebagai wawasan, bahkan solusi yang inovatif.

Ditambah lagi, Menteri yang baik harus mampu berpikir strategis. Pemikiran strategis mengilhami visi jangka panjang, dan membutuhkan pengetahuan perihal tren lokal, nasional, maupun global dimana itu semua menjadi cikal bakal kebijakan strategis. Berpikir strategis bagi seorang Menteri juga amat sangat diperlukan guna memecahkan masalah publik secara kreatif.

Selanjutnya, sekelas Menteri mesti memiliki pemahaman dampak dan evaluasi. Tentu saja, menimbang dan menilai keefektifan sebuah kebijakan melalui kriteria yang terukur esensinya sangat penting karena kebijakan tertentu yang diterapkan umumnya memunculkan sebuah dampak, dan seringkali dampak tersebut bisa melebar ke sektor yang lain.

Netizen perlu secara bijak menerima bahwa jabatan Menteri dan profesi guru tidak bisa dipaksakan linear. Kalaupun semua hal itu linear sebagaimana ide gagasan yang netizen bawa, berarti kementerian yang lain juga sama kedudukannya. Menteri agama harus berlatar belakang tokoh pemuka agama, dan bahkan presiden mestinya hanya bisa diduduki oleh orang yang berlatar belakang politik saja. 

Orang-orang memiliki latar belakang militer tidak seharusnya menjadi presiden Republik Indonesia. Tapi kenyataan tidak demikian, bukan? Jika apa-apa wajib linear, yang muncul malah ketidakstabilan demokrasi. Sekali lagi, tidak semua hal harus linear.

Intinya, sebenarnya sah-sah saja netizen punya ide gagasan seperti itu. Menteri pendidikan yang berlatar belakar guru pun ada nilai positifnya. Tapi jikalau ide gagasan netizen menyangkut kemaslahatan dan masa depan masyarakat Indonesia secara luas, ya bijaknya perlu diuji terlebih dahulu. 

Kalau ide gagasannya benar baik dan layak, ya langsung diperjuangkan bersama-sama, tetapi kalau buruk, ayo segera cari ide yang lebih baik dan tepat berasaskan kebutuhan masyarakat dan cita-cita negara Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun