Mohon tunggu...
Shonanar Rohman
Shonanar Rohman Mohon Tunggu... Lainnya - Berbagi dengan menulis

Seorang yang antusias dengan dunia pendidikan dan literasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menteri Pendidikan Berlatar Belakang Guru, Gak Bahaya Tah?

16 Oktober 2024   18:37 Diperbarui: 16 Oktober 2024   18:59 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Singkatnya, saya ingin menyampaikan bahwa bukan berarti seseorang berpengalaman menjadi guru, lantas ia secara otomatis qualified dan kompeten menjadi Menteri Pendidikan, bahkan meramu kebijakan yang strategis. Gak segampang itu Ferguso!

Menteri Berbeda Dengan Guru

Sudah dapat dipastikan, bahkan orang awam pun juga tahu, bahwa profesi guru dan jabatan Menteri Pendidikan adalah dua hal yang berbeda. Memang benar bahwa prinsip-prinsip skill tertentu pada guru ada yang relevan dan bisa dimanfaatkan dalam melaksanakan tugas-tugas Kementerian Pendidikan. Akan tetapi, dilihat dari sudut pandang holistik Menteri jauh membutuhkan keterampilan, kompetensi dan kualifikasi yang lebih komprehensif dan komplex ketimbang guru.

Pada dasarnya, seorang Menteri dalam membuat sebuah kebijakan memerlukan banyak atribut diri yang berkualitas, dan itu terwakilkan dari kompetensi dan kualifikasi yang melekat pada Menteri tersebut. Pengalaman profesi memang dibutuhkan, namun itu hanya menjadi salah satu dari sekian banyaknya kualifikasi yang wajib dimiliki.

 Contohnya, seorang Menteri harus memahami konteks sosial dan politik. Ini maksudnya karena kebijakan yang nantinya dibuat harus tetap mewakili dan menganut nilai sosial, budaya dan norma masyarakat, serta memperhitungkan dinamika politik yang terjadi dan kepentingan politik yang menyertai.

Tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Menteri yang menjabat wajib hukumnya memiliki keterampilan analitis dan penelitian. Sebuah kebijakan tidak boleh berdasarkan pada intuisi. 

Kebijakan yang strategis lahir dari data statistik, survei, dan sejumlah penilitian ilmiah agar selanjutnya bisa dievaluasi dampak kebijakannya dan dipelajari sebagai wawasan, bahkan solusi yang inovatif.

Ditambah lagi, Menteri yang baik harus mampu berpikir strategis. Pemikiran strategis mengilhami visi jangka panjang, dan membutuhkan pengetahuan perihal tren lokal, nasional, maupun global dimana itu semua menjadi cikal bakal kebijakan strategis. Berpikir strategis bagi seorang Menteri juga amat sangat diperlukan guna memecahkan masalah publik secara kreatif.

Selanjutnya, sekelas Menteri mesti memiliki pemahaman dampak dan evaluasi. Tentu saja, menimbang dan menilai keefektifan sebuah kebijakan melalui kriteria yang terukur esensinya sangat penting karena kebijakan tertentu yang diterapkan umumnya memunculkan sebuah dampak, dan seringkali dampak tersebut bisa melebar ke sektor yang lain.

Netizen perlu secara bijak menerima bahwa jabatan Menteri dan profesi guru tidak bisa dipaksakan linear. Kalaupun semua hal itu linear sebagaimana ide gagasan yang netizen bawa, berarti kementerian yang lain juga sama kedudukannya. Menteri agama harus berlatar belakang tokoh pemuka agama, dan bahkan presiden mestinya hanya bisa diduduki oleh orang yang berlatar belakang politik saja. 

Orang-orang memiliki latar belakang militer tidak seharusnya menjadi presiden Republik Indonesia. Tapi kenyataan tidak demikian, bukan? Jika apa-apa wajib linear, yang muncul malah ketidakstabilan demokrasi. Sekali lagi, tidak semua hal harus linear.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun